PENGERTIAN RUANG
LINGKUP DAN CABANG-CABANG ULUMUL QURAN
Al-qur’an adalah kalammullah yang diturunkan kepada nabi
muhammad lewat perantara malaikat Jibril sebagai mu’jizat. Al-Qur’an adalah
sumber ilmu bagi kaum muslimin yang merupakan dasar-dasar hukum yang mencakup
segala hal, baik aqidah, ibadah, etika, mu’amalah dan sebagainya.
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَـبَ تِبْيَانًا لِّكُلِّ شَىْءٍ وَهَدَى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ
Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk
menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi
orang-orang yang berserah diri.(Q.S.An-Nahl 89)
Mempelajari isi Al-qur’an akan menambah perbendaharaan baru, memperluas pandangan dan pengetahuan, meningkatkan perspektif baru dan selalu menemui hal-hal yang selalu baru. Lebih jauh lagi, kita akan lebih yakin akan keunikan isinya yang menunjukan Maha Besarnya Allah sebagai penciptanya.Firman Allah :
Mempelajari isi Al-qur’an akan menambah perbendaharaan baru, memperluas pandangan dan pengetahuan, meningkatkan perspektif baru dan selalu menemui hal-hal yang selalu baru. Lebih jauh lagi, kita akan lebih yakin akan keunikan isinya yang menunjukan Maha Besarnya Allah sebagai penciptanya.Firman Allah :
وَلَقَدْ جِئْنَـهُمْ بِكِتَـبٍ فَصَّلْنَـهُ عَلَى عِلْمٍ هُدًى وَرَحْمَةً لِّقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
Dan sesungguhnya Kami telah mendatangkan sebuah Kitab (Al
Quran) kepada mereka yang Kami telah menjelaskannya atas dasar pengetahuan
Kami[546]; menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang
beriman.(Q.S.Al-A’raf 52)
Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab. Karena itu, ada anggapan bahwa setiap orang yang mengerti bahasa Arab dapat mengerti isi Al-qur’an. Lebih dari itu, ada orang yang merasa telah dapat memahami dan menafsirkan Al-qur’an dengan bantuan terjemahnya sekalipun tidak mengerti bahasa Arab. Padahal orang Arab sendiri banyak yang tidak mengerti kandungan Al-Qur’an. Bahkan di antara para sahabat dan tabi’in ada yang salah memahami Al-Qur’an karena tidak memiliki kemampuan untuk memahaminya. Oleh karena itu, untuk dapat mengetahui isi kandungan Al-Qur’an diperlukanlah sebuah ilmu yang mempelajari bagaimana, tata cara menafsiri Al-Qur’an. Yaitu Ulumul Qur’an atau Ulum at tafsir. Pembahasan mengenai ulumul Qur’an ini insya Allah akan dibahas secara rinci pada bab-bab selanjutnya.
Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab. Karena itu, ada anggapan bahwa setiap orang yang mengerti bahasa Arab dapat mengerti isi Al-qur’an. Lebih dari itu, ada orang yang merasa telah dapat memahami dan menafsirkan Al-qur’an dengan bantuan terjemahnya sekalipun tidak mengerti bahasa Arab. Padahal orang Arab sendiri banyak yang tidak mengerti kandungan Al-Qur’an. Bahkan di antara para sahabat dan tabi’in ada yang salah memahami Al-Qur’an karena tidak memiliki kemampuan untuk memahaminya. Oleh karena itu, untuk dapat mengetahui isi kandungan Al-Qur’an diperlukanlah sebuah ilmu yang mempelajari bagaimana, tata cara menafsiri Al-Qur’an. Yaitu Ulumul Qur’an atau Ulum at tafsir. Pembahasan mengenai ulumul Qur’an ini insya Allah akan dibahas secara rinci pada bab-bab selanjutnya.
A. Pengertian Ulumul Qur’an
Secara etimologi, kata Ulumul Qur’an berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari dua kata, yaitu “ulum” dan “Al-Qur’an”. Kata ulum adalah bentuk jama’ dari kata “ilmu” yang berarti ilmu-ilmu. Kata ulum yang disandarkan kepada kata Al-Qur’an telah memberikan pengertian bahwa ilmu ini merupakan kumpulan sejumlah ilmu yang berhubungandengan Al-Qur’an, baik dari segi keberadaanya sebagai Al-Qur’an maupun dari segi pemahaman terhadap petunjuk yang terkandung di dalamnaya. Dengan demikian, ilmu tafsir, ilmu qira’at, ilmu rasmil Qur’an, ilmu I’jazil Qur’an, ilmu asbabun nuzul, dan ilmu-ilmu yang ada kaitanya dengan Al-Qur’an menjadi bagian dari ulumul Qur’an.
Sedangkan menurut terminologi terdapat berbagai definisi yang dimaksud dengan ulumul Qur’an diantara lain :
v Assuyuthi dalam kitab itmamu al-Dirayah mengatakan :
علم يبحث فيه عن احوال الكتاب العزيز من جهة نزوله وسنده وادابهوالفاظه ومعانيه المتعلقة بالاحكام وغير ذالكّ.
“Ilmu yang membahas tentang keadaan Al-Qur’an dari segi turunya, sanadnya, adabnya makna-maknanya, baik yang berhubungan lafadz-lafadznya maupun yang berhubungan dengan hukum-hukumnya, dan sebagainya”.
v Al-Zarqany memberikan definisi sebagai berikut:
مباحث تتعلّق بالقران الكريم من ناحية نزوله وترتيبه وجمعه وكابته وقراءته وتفسيره واعجازه وناسخه ومنسوخه ودفع الشّبه عنه ونحو ذالك.
“Beberapa pembahasan yang berhubungan dengan Al-Qur’an Al-Karim dari segi turunya, urutanya, pengumpulanya, penulisanya, bacaanya, penafsiranya, kemu’jizatanya, nasikh mansukhnya, penolakan hal-hal yang bisa menimbulkan keraguan terhadapnya, dan sebagainya”.
Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa ulumul qur’an adalah ilmu yang membahas hal-hal yang berhubungan dengan Al-Qur’an, baik dari aspek keberadaanya sebagai Al-Qur’an maupun aspek pemahaman kandunganya sebagai pedoman dan petunjuk bagi manusia atau ilmu-ilmu yang berhubungan dengan berbagai aspek yang terkait dengan keperluan membahas al-Qur’an.
B. Ruang Lingkup Pembahasan Al-Qur’an
Ulumul Qur’an merupakan suatu ilmu yang mempunyai ruang lingkup pembahasan yang luas. Ulumul Qur’an meliputi semua ilmu yang ada kaitanya dengan Al-Qur’an, baik berupa ilmu-ilmu agama, seperti ilmu tafsir maupun ilmu-ilmu bahasa Arab, seperti ilmu balaghah dan ilmu I’rab al-Qur’an. Disamping itu, masih banyak lagi ilmu-ilmu yang tercakup di dalamnya. Dalam kitab Al- Itqan, Assyuyuthi menguraikan sebanyak 80 cabang ilmu. Dari tiap-tiap cabang terdapat beberapa macam cabang ilmu lagi. Kemudian dia mengutip Abu Bakar Ibnu al_Araby yang mengatakan bahwa ulumul qur’an terdiri dari 77450 ilmu. Hal ini didasarkan kepada jumlah kata yang terdapat dalam al-qur’an dengan dikalikan empat. Sebab, setiap kata dalam al-Qur’an mengandung makna Dzohir, batin, terbatas, dan tidak terbatas. Perhitungan ini masih dilihat dari sudut mufrodatnya. Adapun jika dilihat dari sudut hubungan kalimat-kalimatnya, maka jumlahnya menjadi tidak terhitung. Firman Allah :
Secara etimologi, kata Ulumul Qur’an berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari dua kata, yaitu “ulum” dan “Al-Qur’an”. Kata ulum adalah bentuk jama’ dari kata “ilmu” yang berarti ilmu-ilmu. Kata ulum yang disandarkan kepada kata Al-Qur’an telah memberikan pengertian bahwa ilmu ini merupakan kumpulan sejumlah ilmu yang berhubungandengan Al-Qur’an, baik dari segi keberadaanya sebagai Al-Qur’an maupun dari segi pemahaman terhadap petunjuk yang terkandung di dalamnaya. Dengan demikian, ilmu tafsir, ilmu qira’at, ilmu rasmil Qur’an, ilmu I’jazil Qur’an, ilmu asbabun nuzul, dan ilmu-ilmu yang ada kaitanya dengan Al-Qur’an menjadi bagian dari ulumul Qur’an.
Sedangkan menurut terminologi terdapat berbagai definisi yang dimaksud dengan ulumul Qur’an diantara lain :
v Assuyuthi dalam kitab itmamu al-Dirayah mengatakan :
علم يبحث فيه عن احوال الكتاب العزيز من جهة نزوله وسنده وادابهوالفاظه ومعانيه المتعلقة بالاحكام وغير ذالكّ.
“Ilmu yang membahas tentang keadaan Al-Qur’an dari segi turunya, sanadnya, adabnya makna-maknanya, baik yang berhubungan lafadz-lafadznya maupun yang berhubungan dengan hukum-hukumnya, dan sebagainya”.
v Al-Zarqany memberikan definisi sebagai berikut:
مباحث تتعلّق بالقران الكريم من ناحية نزوله وترتيبه وجمعه وكابته وقراءته وتفسيره واعجازه وناسخه ومنسوخه ودفع الشّبه عنه ونحو ذالك.
“Beberapa pembahasan yang berhubungan dengan Al-Qur’an Al-Karim dari segi turunya, urutanya, pengumpulanya, penulisanya, bacaanya, penafsiranya, kemu’jizatanya, nasikh mansukhnya, penolakan hal-hal yang bisa menimbulkan keraguan terhadapnya, dan sebagainya”.
Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa ulumul qur’an adalah ilmu yang membahas hal-hal yang berhubungan dengan Al-Qur’an, baik dari aspek keberadaanya sebagai Al-Qur’an maupun aspek pemahaman kandunganya sebagai pedoman dan petunjuk bagi manusia atau ilmu-ilmu yang berhubungan dengan berbagai aspek yang terkait dengan keperluan membahas al-Qur’an.
B. Ruang Lingkup Pembahasan Al-Qur’an
Ulumul Qur’an merupakan suatu ilmu yang mempunyai ruang lingkup pembahasan yang luas. Ulumul Qur’an meliputi semua ilmu yang ada kaitanya dengan Al-Qur’an, baik berupa ilmu-ilmu agama, seperti ilmu tafsir maupun ilmu-ilmu bahasa Arab, seperti ilmu balaghah dan ilmu I’rab al-Qur’an. Disamping itu, masih banyak lagi ilmu-ilmu yang tercakup di dalamnya. Dalam kitab Al- Itqan, Assyuyuthi menguraikan sebanyak 80 cabang ilmu. Dari tiap-tiap cabang terdapat beberapa macam cabang ilmu lagi. Kemudian dia mengutip Abu Bakar Ibnu al_Araby yang mengatakan bahwa ulumul qur’an terdiri dari 77450 ilmu. Hal ini didasarkan kepada jumlah kata yang terdapat dalam al-qur’an dengan dikalikan empat. Sebab, setiap kata dalam al-Qur’an mengandung makna Dzohir, batin, terbatas, dan tidak terbatas. Perhitungan ini masih dilihat dari sudut mufrodatnya. Adapun jika dilihat dari sudut hubungan kalimat-kalimatnya, maka jumlahnya menjadi tidak terhitung. Firman Allah :
قُل لَّوْ كَانَ الْبَحْرُ مِدَاداً لِّكَلِمَـتِ رَبِّى لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ أَن تَنفَدَ كَلِمَـتُ رَبِّى وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِ مَدَداً
Katakanlah: Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis)
kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis)
kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu
(pula).(Q.S. Al-Kahfi 109)
C. Pokok Pembahasan
Secara garis besar Ilmu alQur’an terbagi dua pokok bahasan yaitu :
1. Ilmu yang berhubungan dengan riwayat semata-mata, seperti ilmu yang membahas tentang macam-macam qira’at, tempat turun ayat-ayat Al-Qur’an, waktu-waktu turunnya dan sebab-sebabnya.
2. Ilmu yang berhubungan dengan dirayah, yakni ilmu yang diperoleh dengan jalan penelaahan secara mendalam seperti memahami lafadz yang ghorib (asing) serta mengetahui makna ayat-ayat yang berhubungan dengan hukum.
Namun, Ash-Shidiqie memandang segala macam pembahasan ulumul Qur’an itu kembali kepada beberapa pokok pembahasan saja seperti :
v Nuzul. Permbahasan ini menyangkut dengan ayat-ayat yang menunjukan tempat dan waktu turunya ayat Al-Qur’an misalnya : makkiyah, madaniyah, hadhariah, safariyah, nahariyah, lailiyah, syita’iyah, shaifiyah, dan firasyiah. Pembahasan ini juga meliputi hal yang menyangkut asbabun nuzul dan sebagainya.
v Sanad. Pembahasan ini meliputi hal-hal yang menyangkut sanad yang mutawattir, ahad, syadz, bentuk-bentuk qira’at nabi, para periwayat dan para penghapal Al-Qur’an Al-Qur’an, dan Cara Tahammul (penerimaan riwayat).
v Ada’ al-Qira’ah. Pembahasan ini menyangkut waqof, ibtida’, imalah, madd, takhfif hamzah, idghom.
v Pembahasan yang menyangkut lafadz Al-Qur’an, yaitu tentang gharib, mu,rab, majaz, musytarak, muradif, isti’arah, dan tasybih.
v Pembahasan makna Al-Qur’an yang berhubungan dengan hukum, yaitu ayat yang bermakna Amm dan tetap dalam keumumanya, Amm yang dimaksudkan khusus, Amm yang dikhususkan oleh sunnah, nash, dhahir, mujmal, mufashal, manthuq, mafhum, mutlaq, muqayyad, muhkam, mutasyabih, musykil, nasikh mansukh, muqaddam, mu’akhar, ma’mul pada waktu tertentu, dan ma’mul oleh seorang saja.
v Pembahasan makna Al-Qur’anyang berhubungan dengan lafadz, yaitu fashl, washl, ijaz, ithnab, musawah, dan qashr.
D. Sejarah Perkembangan Ulumul Qur’an
Sebagai ilmu yang terdiri dari berbagai cabang dan macamnya, ulumul Qur’an tidak lahir sekaligus. Ulumul Qur’an menjelma menjadi suatu disiplin ilmu melalui proses pertumbuhan dan perkembangan sesuai dengan kebutuhan dan kesempatan untuk membenahi Al-Qur’an dari segi keberadaanya dan segi pemahamanya.
Di masa Rasul SAW dan para sahabat, ulumul Qur’an belum dikenal sebagai suatu ilmu yang berdiri sendiri dan tertulis. Para sahabat adalah orang-orang Arab asli yang dapat merasakan struktur bahasa Arab yang tinggi dan memahami apa yang diturunkan kepada Rasul, dan bila menemukan kesulitan dalam memahami ayat-ayat tertentu, mereka dapat menanyakan langsung kepada Rasul SAW.
Di zaman Khulafa’u Rasyiddin sampai dinasti umayyah wilayah islam bertambah luas sehingga terjadi pembauran antara orang Arab dan bangsa-bangsa yang tidak mengetahui bahasa Arab. Keadaan demikian menimbulkan kekhawatiran sahabat akan tercemarnya keistimewaan bahasa arab, bahkan dikhawatirkan tentang baca’an Al-Qur’an yang menjadi sebuah standar bacaan mereka. Untuk mencegah kekhawatiran itu, disalinlah dari tulisan-tulisan aslinya sebuah al-qur’an yang disebut mushaf imam. Dan dari salinan inilah suatu dasar ulumul Qur’an yang disebut Al rasm Al-Utsmani.
Kemudian, Ulumul Qur’an memasuki masa pembukuanya pada abad ke-2 H. Para ulama memberikan prioritas perhatian mereka kepada ilmu tafsir karena fungsinya sebagai umm al ulum alQur’aniyyah. Para penulis pertama dalam tafsir adalah Syu’bah ibn al-Hajjaj (160 H), Sufyan Ibn Uyaynah (198 H), dan Wali Ibn al-Jarrah (197 H). dan pada abad ke-3 muncul tokoh tafsir yang merupakan mufassir pertama yang membentangkan berbagai pendapat dan mentarjih sebagianya. Beliau adalah Ibn jarir atThabari (310 H). Selanjutnya sampai abad ke-13 ulumul Qur’an terus berkembang pesat dengan lahirnya tokoh-tokoh yang selalu melahirkan buah karyanya untuk terus melengkapi pembahasan-pembahasan yang berhubungan dengan ilmu tersebut. Diantara sekian banyak tokoh-tokoh tersebut, Jalaluddin al-bulqini (824 H) pengarang kitab Mawaqi’ Al-ulum min Mawaqi’ al-Nujum dipandang Assuyuthi sebagai ulama yang mempelopori penyusunan Ulumul Qur’an yang lengkap. Sebab, dalam kitabnya tercakup 50 macam ilmu Al-Qur’an. Jalaluddin al-Syuyuthi (991 H) menulis kitab Al-Tahhir fi Ulum al-Tafsir. Penulisan kitab ini selesai pada tahun 873 H. kitab ini memuat 102 macam ilmu-ilmu Al-Qur’an. Karena itu, menurut sebagian ulama, kitab ini dipandang sebagai kitab Ulumul Qur’an paling lengkap.namun, Al-Syuyuthi belum merasa puas dengan karya monumental ini sehingga ia menyusun lagi kitab Al-Itqan fi Ulum Al-Qur’an. Didalamnya dibahas 80 macam ilmu-ilmu Al-Qur’an secara padat dan sistematis. Menurut Al-Zarqani, kitab ini merupakan pegangan bagi para peneliti dan penulis dalam ilmu ini. Sampai saat ini bersamaan dengan masa kebangkitan modern dalam perkembangan ilmu-ilmu agama, para ulama masih memperhatikan akan ilmu Qur’an ini. Sehingga tokoh-tokoh ahli Qur’an masih banyak hingga saat ini di seluruh dunia.
C. Pokok Pembahasan
Secara garis besar Ilmu alQur’an terbagi dua pokok bahasan yaitu :
1. Ilmu yang berhubungan dengan riwayat semata-mata, seperti ilmu yang membahas tentang macam-macam qira’at, tempat turun ayat-ayat Al-Qur’an, waktu-waktu turunnya dan sebab-sebabnya.
2. Ilmu yang berhubungan dengan dirayah, yakni ilmu yang diperoleh dengan jalan penelaahan secara mendalam seperti memahami lafadz yang ghorib (asing) serta mengetahui makna ayat-ayat yang berhubungan dengan hukum.
Namun, Ash-Shidiqie memandang segala macam pembahasan ulumul Qur’an itu kembali kepada beberapa pokok pembahasan saja seperti :
v Nuzul. Permbahasan ini menyangkut dengan ayat-ayat yang menunjukan tempat dan waktu turunya ayat Al-Qur’an misalnya : makkiyah, madaniyah, hadhariah, safariyah, nahariyah, lailiyah, syita’iyah, shaifiyah, dan firasyiah. Pembahasan ini juga meliputi hal yang menyangkut asbabun nuzul dan sebagainya.
v Sanad. Pembahasan ini meliputi hal-hal yang menyangkut sanad yang mutawattir, ahad, syadz, bentuk-bentuk qira’at nabi, para periwayat dan para penghapal Al-Qur’an Al-Qur’an, dan Cara Tahammul (penerimaan riwayat).
v Ada’ al-Qira’ah. Pembahasan ini menyangkut waqof, ibtida’, imalah, madd, takhfif hamzah, idghom.
v Pembahasan yang menyangkut lafadz Al-Qur’an, yaitu tentang gharib, mu,rab, majaz, musytarak, muradif, isti’arah, dan tasybih.
v Pembahasan makna Al-Qur’an yang berhubungan dengan hukum, yaitu ayat yang bermakna Amm dan tetap dalam keumumanya, Amm yang dimaksudkan khusus, Amm yang dikhususkan oleh sunnah, nash, dhahir, mujmal, mufashal, manthuq, mafhum, mutlaq, muqayyad, muhkam, mutasyabih, musykil, nasikh mansukh, muqaddam, mu’akhar, ma’mul pada waktu tertentu, dan ma’mul oleh seorang saja.
v Pembahasan makna Al-Qur’anyang berhubungan dengan lafadz, yaitu fashl, washl, ijaz, ithnab, musawah, dan qashr.
D. Sejarah Perkembangan Ulumul Qur’an
Sebagai ilmu yang terdiri dari berbagai cabang dan macamnya, ulumul Qur’an tidak lahir sekaligus. Ulumul Qur’an menjelma menjadi suatu disiplin ilmu melalui proses pertumbuhan dan perkembangan sesuai dengan kebutuhan dan kesempatan untuk membenahi Al-Qur’an dari segi keberadaanya dan segi pemahamanya.
Di masa Rasul SAW dan para sahabat, ulumul Qur’an belum dikenal sebagai suatu ilmu yang berdiri sendiri dan tertulis. Para sahabat adalah orang-orang Arab asli yang dapat merasakan struktur bahasa Arab yang tinggi dan memahami apa yang diturunkan kepada Rasul, dan bila menemukan kesulitan dalam memahami ayat-ayat tertentu, mereka dapat menanyakan langsung kepada Rasul SAW.
Di zaman Khulafa’u Rasyiddin sampai dinasti umayyah wilayah islam bertambah luas sehingga terjadi pembauran antara orang Arab dan bangsa-bangsa yang tidak mengetahui bahasa Arab. Keadaan demikian menimbulkan kekhawatiran sahabat akan tercemarnya keistimewaan bahasa arab, bahkan dikhawatirkan tentang baca’an Al-Qur’an yang menjadi sebuah standar bacaan mereka. Untuk mencegah kekhawatiran itu, disalinlah dari tulisan-tulisan aslinya sebuah al-qur’an yang disebut mushaf imam. Dan dari salinan inilah suatu dasar ulumul Qur’an yang disebut Al rasm Al-Utsmani.
Kemudian, Ulumul Qur’an memasuki masa pembukuanya pada abad ke-2 H. Para ulama memberikan prioritas perhatian mereka kepada ilmu tafsir karena fungsinya sebagai umm al ulum alQur’aniyyah. Para penulis pertama dalam tafsir adalah Syu’bah ibn al-Hajjaj (160 H), Sufyan Ibn Uyaynah (198 H), dan Wali Ibn al-Jarrah (197 H). dan pada abad ke-3 muncul tokoh tafsir yang merupakan mufassir pertama yang membentangkan berbagai pendapat dan mentarjih sebagianya. Beliau adalah Ibn jarir atThabari (310 H). Selanjutnya sampai abad ke-13 ulumul Qur’an terus berkembang pesat dengan lahirnya tokoh-tokoh yang selalu melahirkan buah karyanya untuk terus melengkapi pembahasan-pembahasan yang berhubungan dengan ilmu tersebut. Diantara sekian banyak tokoh-tokoh tersebut, Jalaluddin al-bulqini (824 H) pengarang kitab Mawaqi’ Al-ulum min Mawaqi’ al-Nujum dipandang Assuyuthi sebagai ulama yang mempelopori penyusunan Ulumul Qur’an yang lengkap. Sebab, dalam kitabnya tercakup 50 macam ilmu Al-Qur’an. Jalaluddin al-Syuyuthi (991 H) menulis kitab Al-Tahhir fi Ulum al-Tafsir. Penulisan kitab ini selesai pada tahun 873 H. kitab ini memuat 102 macam ilmu-ilmu Al-Qur’an. Karena itu, menurut sebagian ulama, kitab ini dipandang sebagai kitab Ulumul Qur’an paling lengkap.namun, Al-Syuyuthi belum merasa puas dengan karya monumental ini sehingga ia menyusun lagi kitab Al-Itqan fi Ulum Al-Qur’an. Didalamnya dibahas 80 macam ilmu-ilmu Al-Qur’an secara padat dan sistematis. Menurut Al-Zarqani, kitab ini merupakan pegangan bagi para peneliti dan penulis dalam ilmu ini. Sampai saat ini bersamaan dengan masa kebangkitan modern dalam perkembangan ilmu-ilmu agama, para ulama masih memperhatikan akan ilmu Qur’an ini. Sehingga tokoh-tokoh ahli Qur’an masih banyak hingga saat ini di seluruh dunia.
A. Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah disebutkan di atas dapat disimpulkan bahwa kata Ulumul Qur’an secara etimologi berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari dua kata, yaitu “ulum” dan “Al-Qur’an”. Kata ulum adalah bentuk jama’ dari kata “ilmu” yang berarti ilmu-ilmu. Kata ulum yang disandarkan kepada kata Al-Qur’an telah memberikan pengertian bahwa ilmu ini merupakan kumpulan sejumlah ilmu yang berhubungan dengan Al-Qur’an, baik dari segi keberadaanya sebagai Al-Qur’an maupun dari segi pemahaman terhadap petunjuk yang terkandung di dalamnya. Sedangkan secara terminologi dapat disimpulkan bahwa ulumul qur’an adalah ilmu yang membahas hal-hal yang berhubungan dengan Al-Qur’an, baik dari aspek keberadaanya sebagai Al-Qur’an maupun aspek pemahaman kandunganya sebagai pedoman dan petunjuk bagi manusia.
Ulumul Qur’an merupakan suatu ilmu yang mempunyai ruang lingkup pembahasan yang luas. Ulumul Qur’an meliputi semua ilmu yang ada kaitanya dengan Al-Qur’an, baik berupa ilmu-ilmu agama, seperti ilmu tafsir maupun ilmu-ilmu bahasa Arab. Disamping itu, masih banyak lagi ilmu-ilmu yang tercakup di dalamnya.
Secara garis besar Ilmu alQur’an terbagi dua pokok bahasan yaitu :
1. Ilmu yang berhubungan dengan riwayat semata-mata, seperti ilmu yang membahas tentang macam-macam qira’at, tempat turun ayat-ayat Al-Qur’an, waktu-waktu turunnya dan sebab-sebabnya.
2. Ilmu yang berhubungan dengan dirayah, yakni ilmu yang diperoleh dengan jalan penelaahan secara mendalam seperti memahami lafadz yang ghorib (asing) serta mengetahui makna ayat-ayat yang berhubungan dengan hukum. Pertumbuhan dan perkembangan Ulumul Qur’an menjelma menjadi suatu disiplin
ilmu melalui proses secara bertahap dan sesuai dengan kebutuhan dan kesempatan untuk membenahi Al-Qur’an dari segi keberadaanya dan segi pemahamanya .
Dari pembahasan yang telah disebutkan di atas dapat disimpulkan bahwa kata Ulumul Qur’an secara etimologi berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari dua kata, yaitu “ulum” dan “Al-Qur’an”. Kata ulum adalah bentuk jama’ dari kata “ilmu” yang berarti ilmu-ilmu. Kata ulum yang disandarkan kepada kata Al-Qur’an telah memberikan pengertian bahwa ilmu ini merupakan kumpulan sejumlah ilmu yang berhubungan dengan Al-Qur’an, baik dari segi keberadaanya sebagai Al-Qur’an maupun dari segi pemahaman terhadap petunjuk yang terkandung di dalamnya. Sedangkan secara terminologi dapat disimpulkan bahwa ulumul qur’an adalah ilmu yang membahas hal-hal yang berhubungan dengan Al-Qur’an, baik dari aspek keberadaanya sebagai Al-Qur’an maupun aspek pemahaman kandunganya sebagai pedoman dan petunjuk bagi manusia.
Ulumul Qur’an merupakan suatu ilmu yang mempunyai ruang lingkup pembahasan yang luas. Ulumul Qur’an meliputi semua ilmu yang ada kaitanya dengan Al-Qur’an, baik berupa ilmu-ilmu agama, seperti ilmu tafsir maupun ilmu-ilmu bahasa Arab. Disamping itu, masih banyak lagi ilmu-ilmu yang tercakup di dalamnya.
Secara garis besar Ilmu alQur’an terbagi dua pokok bahasan yaitu :
1. Ilmu yang berhubungan dengan riwayat semata-mata, seperti ilmu yang membahas tentang macam-macam qira’at, tempat turun ayat-ayat Al-Qur’an, waktu-waktu turunnya dan sebab-sebabnya.
2. Ilmu yang berhubungan dengan dirayah, yakni ilmu yang diperoleh dengan jalan penelaahan secara mendalam seperti memahami lafadz yang ghorib (asing) serta mengetahui makna ayat-ayat yang berhubungan dengan hukum. Pertumbuhan dan perkembangan Ulumul Qur’an menjelma menjadi suatu disiplin
ilmu melalui proses secara bertahap dan sesuai dengan kebutuhan dan kesempatan untuk membenahi Al-Qur’an dari segi keberadaanya dan segi pemahamanya .
SEJARAH PENGUMPULAN DAN
PENULISAN AL
QURAN
Misionaris Kristian di dalam artikel mereka telah membuat
dakwaan bahawa al-Qur’an adalah tidak sempurna pengumpulannya. Setelah meneliti
secara sepintas lalu artikel tersebut, didapati semua itu hanyalah dendam dan
dengki musuh-musuh Islam terhadap Islam. Dalam usaha menyangkal tuduhan-tuduhan
palsu musuh-musuh Islam itu, selain dari mengguna-pakai hujah-hujah para ulama
Islam, kita juga boleh menggunakan hujah sesetengah orientalis Barat yang
mengkaji perkara ini dan mengakui kebenarannya. Barangkali dengan ini, hujah
musuh-musuh Islam lebih senang disangkal.Sebelum itu, perlu diingatkan tidak
semua Orientalis mengkaji ilmu-ilmu Islam untuk menghina Islam. Ada juga mereka yang
mengkaji dengan tujuan untuk mencari kebenaran. Hal ini memang telah terbukti.
Berhubung masalah yang dikemukakan di atas, kita mengambil
apa yang telah ditulis oleh Sir William Muir dalam “The Life of Mohammad”,
supaya mereka yang sangat berlebih-lebihan dalam memandang sejarah dan dalam
memandang diri mereka yang biasanya menerima begitu
saja apa yang dikatakan orang tentang pemalsuan dan perubahan al-Qur’an itu
dapat melihat sendiri. Muir adalah seorang penganut agama Kristian yang teguh dan juga berdakyah
untuk agamanya. Walaupun ia seorang orientalis, dia tidak membiarkan setiap
orang mengambil kesempatan melakukan kritik terhadap Nabi s.a.w. dan al-Qur’an.
Ketika berbicara tentang Qur’an, Sir William Muir menulis
seperti berikut.
Wahyu Ilahi itu adalah dasar rukun Islam. Membaca beberapa
ayat merupakan bahagian pokok dari sembahyang sehari-hari yang bersifat umum
atau khusus. Melakukan pembacaan ini adalah wajib dan sunnah, yang dalam erti
agama adalah perbuatan baik yang akan mendapat pahala bagi yang melakukannya.
Inilah sunnah pertama yang sudah merupakan konsensi. Dan itu pula yang telah
diberitakan oleh wahyu. Oleh karena itu penghafal al-Qur’an di kalangan
Muslimin yang mula-mula itu banyak sekali, kalau bukan semuanya. Ada di antara mereka pada
awal masa kekuasaan Islam itu dapat membaca sampai pada ciri-cirinya yang khas.
Tradisi Arab telah membantu pula mempermudahkan pekerjaan ini. Kecintaan mereka
luar biasa besarnya. Oleh karena untuk memburu segala yang datang dari para
penyairnya tidak mudah dicapai, maka seperti dalam mencatat segala sesuatu yang
berhubungan dengan nasab keturunan dan kabilah-kabilah mereka, sudah biasa pula
mereka mencatat sajak-sajak itu dalam lembaran hati mereka sendiri. Oleh karena
itu daya ingat (memori) mereka tumbuh dengan subur. Kemudian pada masa itu
mereka menerima al-Qur’an dengan persiapan dan dengan jiwa yang hidup. Begitu
kuatnya daya ingat sahabat-sahabat Nabi, disertai pula dengan kemahuan yang
luar biasa hendak menghafal al-Qur’an, sehingga mereka, bersama-sama dengan
Nabi dapat mengulang kembali dengan ketelitian yang meyakinkan sekali segala
yang diketahui daripada Nabi sehingga waktu mereka membacanya itu.
Sebab al-Qur’an Ditulis Semula
Semasa Sayyidina Uthman bin Affan menjadi Khalifah pengaruh
Islam telah berkembang luas. Islam telah sampai ke Afrika Utara di barat dan
hingga ke Azarbaijan di timur. Ini bermakna telah begitu ramai orang yang bukan
Arab memeluk Islam. Keadaan ini memerlukan ramai guru yang boleh membaca
al-Qur’an dan memahami Islam dengan baik untuk mengajar orang yang baru
memeluk Islam. Beberapa orang sahabat telah dihantar ke tempat-tempat tertentu
untuk mengajar al-Qur’an.Masing-masing tempat membaca al-Qur’an mengikut
bacaan sahabat yang mengajar mereka. Dengan ini timbul sedikit perbezaan dari
segi bacaan dan sebutan huruf al-Qur’an di antara tempat-tempat tersebut. Di
Sham contohnya, mereka membaca mengikut bacaan Abdullah bin Mas’ud. Di tempat
lain pula membaca mengikut bacaan Abu Musa al-‘Asya’ariy.Keadaan ini
hampir-hampir menyebabkan berlaku permusuhan dan persengketaan di antara
saudara-saudara baru Islam. Masing-masing mengatakan bacaannya yang betul
menyalahkan orang lain. Seorang sahabat bernama Huzaifah bin al-Yaman yang
bersama-sama dengan orang Sham dan Iraq
dalam peperangan di Armenia
dan Azarbaijan melihat sendiri keadaan itu. Sekembalinya ke Madinah, beliau
terus pergi berjumpa Khalifah Uthman bin Affan dan menceritakan hal tersebut.Beliau
mencadangkan supaya khalifah menulis semula al-Qur’an dalam beberapa naskah
untuk dihantar ke bandar-bandar besar supaya semua orang Islam dapat membaca
al-Quran dengan satu cara yang sama. Khalifah bersetuju dengan cara itu dan
seterusnya menubuhkan panitia untuk menulis al-Qur’an. Al-Qur’an yang
ditulis semula inilah yang dinamakan Mushaf Uthmaniy.
Dalam bahasa yang mudah, sebab al-Qur’an ditulis semula
ialah untuk menyelamatkan umat Islam dan juga al-Qur’an itu sendiri. Selain
itu bertujuan agar semua orang Islam membaca al-Quran dengan satu cara bacaan
sahaja, melainkan bagi orang-orang yang belajar membaca al-Qur’an dengan
Tujuh Huruf, maka mereka boleh membacanya dengan berbagai-bagai Qira’at
dengan syarat-syarat dan kaedah-kaedah tertentu.
Persatuan Islam Zaman Uthman
Maka yang sampai kepada kita adalah sekarang adalah Mushaf
Uthman. Begitu cermat penjagaan al-Qur’an itu, sehingga hampir tidak kita
dapati – bahkan memang tidak kita dapati – perbezaan apapun daripada
naskah-naskah yang tidak terhitung banyaknya, yang tersebar ke seluruh pelusuk
dunia Islam yang luas ini. Sekalipun akibat terbunuhnya Uthman sendiri –
seperempat abad kemudian sesudah Muhammad wafat – telah menimbulkan adanya
kelompok-kelompok yang marah dan memberontak sehingga dapat menggoncangkan
kesatuan dunia Islam – dan memang demikian adanya – namun al-Qur’an yang satu,
itu juga yang selalu tetap menjadi al-Qur’an bagi semuanya.Demikianlah, Islam
yang hanya mengenal satu kitab itu ialah bukti yang nyata sekali, bahwa apa
yang ada di depan kita sekarang ini tidak lain adalah teks yang telah dihimpun
atas perintah dan usaha murni Sayyidina ‘Uthman bin Affan.Di seluruh dunia
ini tiada sebuah kitab pun selain al-Qur’an yang berbelas-belas abad lamanya
tetap lengkap dengan teks yang begitu murni dan rapi. Adanya cara membaca yang
berbeza-beza itu sedikit sekali sampai menimbulkan kehairanan. Perbezaan ini
kebanyakannya terbatas hanya pada cara penyebutan huruf hidup saja atau pada
tempat-tempat tanda berhenti, yang sebenarnya timbul hanya belakangan saja
dalam sejarah, yang tidak ada hubungannya dengan Mushaf Uthman. Sekarang,
sesudah ternyata bahwa al-Qur’an yang kita baca ialah teks Mushaf Uthman yang
tidak berubah-ubah.Perbincangan berikutnya, adakah teks ini yang memang persis
bentuknya seperti yang dihimpun oleh Zaid sesudah adanya persetujuan
menghilangkan segi perbezaan dalam cara membaca yang hanya sedikit sekali
jumlahnya dan tidak pula penting itu? Segala pembuktian yang ada pada kita amat
meyakinkan, bahawa memang demikian. Tidak ada dalam berita-berita
lama atau yang patut dipercaya yang melemparkan kesangsian terhadap Uthman
sedikitpun, bahwa dia bermaksud mengubah al-Qur’an demi kepentingannya.Memang
benar, bahawa Syi’ah kemudian menuduh bahawa Uthman mengabaikan beberapa ayat
yang mengagungkan Ali. Akan tetapi dugaan ini tidak dapat diterima oleh akal
kita sama sekali. Ketika Mushaf ini diakui, antara pihak Umawiy dengan pihak
Alawiy (golongan Mu’awiyah dan golongan Ali) belum terjadi sesuatu perselisihan
faham. Bahkan persatuan Islam masa itu benar-benar kuat tanpa ada sebarang
pengancaman bahaya. Di samping itu juga, Ali belum melukiskan tuntutannya dalam
bentuknya yang lengkap. Jadi tiadalah maksud-maksud tertentu yang akan
mendorong Uthman melakukan pelanggaran yang sangat dibenci oleh umat Islam itu.
Orang-orang yang benar-benar memahami dan hafal al-Qur’an seperti yang mereka
dengar sendiri waktu Nabi membacanya, mereka masih hidup tatkala Uthman
mengumpulkan mushaf itu.Andai kata ayat-ayat yang mengagungkan Ali itu sudah
ada, tentu terdapat juga teksnya di tangan pengikut-pengikutnya yang banyak
itu. Dua alasan ini saja sudah cukup untuk menyokong usaha menghilangkan
ayat-ayat itu. Lagi pula, pengikut-pengikut Ali sudah berdiri sendiri sesudah
Uthman wafat, lalu mereka mengangkat Ali sebagai pengganti. Dapatkah diterima
akal — pada waktu mereka sudah memegang kekuasaan — bahawa mereka akan menerima
al-Qur’an yang sudah terpotong-potong, dan terpotong yang disengaja pula untuk
menghilangkan tujuan pemimpin mereka?! Sungguhpun begitu, mereka tetap membaca
al-Qur’an yang juga dibaca oleh lawan-lawan mereka. Tiada bayangan sedikit pun
bahawa mereka akan menentangnya. Bahkan Ali sendiri telah memerintahkan supaya
menyebarkan naskah itu sebanyak-banyaknya. Malah ada diberitakan, bahawa ada
beberapa di antaranya yang ditulis dengan tangannya sendiri.Memang benar bahawa
para pemberontak itu telah membuat pangkal pemberontakan mereka karena ‘Uthman
telah mengumpulkan al-Qur’an lalu memerintahkan supaya semua naskah dimusnahkan
selain Mushaf Uthman. Jadi tentangan mereka ditujukan kepada langkah-langkah
‘Uthman dalam hal itu saja, yang menurut anggapan mereka tidak boleh
dilakukan. Tetapi sebaliknya, tidak seorang yang menunjukkan adanya usaha
mengubah atau menukar isi al-Qur’an. Tuduhan demikian pada waktu itu adalah
suatu usaha untuk merosakkan secara terang-terangan. Hanya kemudian golongan
Syi’ah saja yang mengatakan itu untuk kepentingan mereka sendiri.Sekarang kita
dapat mengambil kesimpulan dengan yakin dan tegas, bahawa Mushaf Uthman itu
tetap dalam bentuknya yang persis seperti yang dihimpun oleh Zaid bin Thabit,
dengan lebih disesuaikan bahan-bahannya yang sudah ada lebih dulu dengan dialek
Quraisy. Kemudian menyisihkan bacaan-bacaan selebihnya yang pada waktu itu
terpancar-pancar di seluruh daerah itu.
PENGERTIAN
BENTUK-BENTUK KEDUDUKAN ASBAUNUJUL DALAM QURAN
Al-Qur’an adalah kitab suci kaum muslimin dan menjadi
sumber ajaran Islam yang pertama dan utama yang harus diimani dan diaplikasikan
dalam kehidupan agar memperoleh kebaikan di dunia dan di akhirat. Karena
itu, tidaklah berlebihan jika selama ini kaum muslimin tidak hanya mempelajari
isi dan pesan-pesannya. Tetapi juga telah berupaya semaksimal mungkin untuk
menjaga otentitasnya. Upaya itu telah mereka laksanakan sejak Nabi Muhammad Saw
masih berada di Mekkah dan belum berhijrah ke Madinah hingga saat ini. Dengan
kata lain upaya tersebut telah dilaksanakan sejak al-Qur’an diturunkan hingga
saat ini. Mengenai mengerti asbabun nuzul sangat banyak manfaatnya. Karena itu
tidak benar jika orang-orang mengatakan, bahwa mempelajari dan memahami
sebab-sebab turunnya Al-Qur’an itu tidak berguna, dengan alasan bahwa hal-hal
yang berkaitan dengan ayat-ayat al-Qur’an itu telah masuk dalam ruang lingkup
sejarah. Di antara manfaatnya yang praktis ialah menghilangkan kesulitan dalam
memberikan arti ayat-ayat Al-Qur’an.
Imam al-Wahidi menyatakan; tidak mungkin orang mengerti
tafsir suatu ayat, kalau tidak mengetahui cerita yang berhubungan dengan
ayat-ayat itu, tegasnya untuk mengetahui tafsir yang terkandung dalam ayat itu
harus mengetahui sebab-sebab ayat itu diturunkan.
Ulama salaf tatkala terbentur kesulitan dalam memahami
ayat, mereka segera kembali berpegang pedoman asbabun nuzulnya. Dengan cara ini
hilanglah semua kesulitan yang mereka hadapi dalam mempelajari al-Qur’an
tentang “Asbabun Nuzul”.
Asbabun Nuzul, dalam pengertian literal bahasa verbal
adalah sebab-sebab turunnya al-Qur’an. Secara historis, al-Qur’an bukanlah
wahyu yang turun dalam ruang hampa, tetapi ia mempunyai latar belakang,
argumentasi dan faktor-faktor tertentu yang menjadikan dia “turun” ke bumi. Hal
ini karena, al-Qur’an “diturunkan” sebagai alat untuk menjawab problematika kehidupan
di muka bumi. Oleh karena itu, kehadirnanya di alam material sangat terkait
ruang dan waktu tertentu yang menjadi faktor-faktor di balik turunnya
al-Qur’an.Menurut Subhi Shalih misalnya menta’rifkan (mana) sababun nuzul
ialah: sesuatu yang dengan sebabnyalah turun sesuatu ayat atau beberapa ayat
yang mengandung sebab itu, atau memberi jawaban tentang sebab itu, atau
menerangkan hukumnya; pada masa terjadinya peristiwa itu.
Sedangkan menurut istilah adalah, sesuatu kejadian yang terjadi di zaman Nabi Saw, atau sesuatu pertanyaan yang dihdapkan kepada Nabi dan turunlah suatu atau beberapa ayat dari Allah Swt yang berhubungan dengan kejadian itu, atau dengan penjawaban pertanyaan itu baik peristiwa itu merupakan pertengkaran, ataupun merupakan kesalahan yang dilakukan maupun merupakan suatu peristiwa atau suatu keinginan yang baik .
Di antara sekian banyak aspek yang banyak memberikan peran dalam menggali dan memahami makna-makna ayat al-Qur’an ialah mengetahui sebab turunnya. Oleh karena itu, mengetahui asbabun nuzul menjadi obyek perhatian para ulama. Bahkan segolongan diantara mereka ada yang mengklarifikasikan dalam suatu naskah, seperti Ali Al-Maidienie, guru besar imam Bukhari.Dari sekian banyak kitab dalam masalah ini, yang paling terkenal ialah: karangan Al-Wahidie, Ibnu Hajar dan As-Sayuthi. Dan As-Sayuthi telah menyusun dalam suatu kitab besar dengan judul Lubaabun Nuquul fie Asbabin Nuzuul.
Boleh dikata, untuk mengetahui secara mendetail tentang aneka corak ilmu-ilmu al-Quran serta pemahamannya, tidak mungkin dicapai tanpa mengetahui asbabun nuzuul Akan tetapi dengan mengetahui sebab-sebab turunnya, akan jelas pengertian ayat ini, di mana ayat ini diturunkan bagi siapa yang sedang di tengah perjalanan dan tidak tahu mana arah kiblat. Maka ia harus berijtihad dan menyelidiki, kemudian sembahyang kemana saja ia menghadap, sahlah shalatnya. Dan tidak diwajibkan kepadanya bersembahyang lagi setelah bersembahyang apabila ternyata salah.
Sedangkan menurut istilah adalah, sesuatu kejadian yang terjadi di zaman Nabi Saw, atau sesuatu pertanyaan yang dihdapkan kepada Nabi dan turunlah suatu atau beberapa ayat dari Allah Swt yang berhubungan dengan kejadian itu, atau dengan penjawaban pertanyaan itu baik peristiwa itu merupakan pertengkaran, ataupun merupakan kesalahan yang dilakukan maupun merupakan suatu peristiwa atau suatu keinginan yang baik .
Di antara sekian banyak aspek yang banyak memberikan peran dalam menggali dan memahami makna-makna ayat al-Qur’an ialah mengetahui sebab turunnya. Oleh karena itu, mengetahui asbabun nuzul menjadi obyek perhatian para ulama. Bahkan segolongan diantara mereka ada yang mengklarifikasikan dalam suatu naskah, seperti Ali Al-Maidienie, guru besar imam Bukhari.Dari sekian banyak kitab dalam masalah ini, yang paling terkenal ialah: karangan Al-Wahidie, Ibnu Hajar dan As-Sayuthi. Dan As-Sayuthi telah menyusun dalam suatu kitab besar dengan judul Lubaabun Nuquul fie Asbabin Nuzuul.
Boleh dikata, untuk mengetahui secara mendetail tentang aneka corak ilmu-ilmu al-Quran serta pemahamannya, tidak mungkin dicapai tanpa mengetahui asbabun nuzuul Akan tetapi dengan mengetahui sebab-sebab turunnya, akan jelas pengertian ayat ini, di mana ayat ini diturunkan bagi siapa yang sedang di tengah perjalanan dan tidak tahu mana arah kiblat. Maka ia harus berijtihad dan menyelidiki, kemudian sembahyang kemana saja ia menghadap, sahlah shalatnya. Dan tidak diwajibkan kepadanya bersembahyang lagi setelah bersembahyang apabila ternyata salah.
PENGERTIAN
BENTUK MACAM CONTOH MUNASABAH QURAN
Secara etimologis, al-munasabah berarti al musyakalah dan
al muqarabah yang berarti “saling menyerupai” dan “saling mendekati”. Secara
termilogis, al munasabah berarti adanya keserupaan dan kedekatan diantara
berbagai ayat, surat
dan kalimat yang mengakibatkan adanya hubungan. Hubungan tersebut bisa
berbentuk keterkaitan makna ayat-ayat dan macam-macam hubungan atau keniscayaan
adalam pikiran, seperti hubungan sebab dan musabbab, hubungan kesetaraan dan
hubungan perlawanan, munasabah juga dapat dalam bentuk penguatan, penafsiran
dan penggantian.
Adapun pengertian munasabah yang lain adalah pengertian yang dikemukakan oleh para imam yaitu: Adapun menurut pengertian terminilogy, Munasabah dapat didefinisikan sebagai berikut.
1. Menurut az-zarkasyi, Munasabah adalah suatu hal yang dapat dipahami. Tatkala dihadapkan kepada akal, pasti akal itu akan menerimanya.
2. Menurut Manna’ Alqaththan, Munasabah adalah sisi keterikatan antara beberapa ungkapan di dalam satu ayat, atau antara ayat pada beberapa ayat, atau antara surah di dalam al-Qur’an.
3. Menurut Ibnu al-‘Arabi, Munasabah keterikantan ayat-ayat al-Qur’an sehingga seolah-olah merupakan satu ungkapan yang mempunyaisatu kesetuan makna dan keteraturan redaksi.
Adapun pengertian munasabah yang lain adalah pengertian yang dikemukakan oleh para imam yaitu: Adapun menurut pengertian terminilogy, Munasabah dapat didefinisikan sebagai berikut.
1. Menurut az-zarkasyi, Munasabah adalah suatu hal yang dapat dipahami. Tatkala dihadapkan kepada akal, pasti akal itu akan menerimanya.
2. Menurut Manna’ Alqaththan, Munasabah adalah sisi keterikatan antara beberapa ungkapan di dalam satu ayat, atau antara ayat pada beberapa ayat, atau antara surah di dalam al-Qur’an.
3. Menurut Ibnu al-‘Arabi, Munasabah keterikantan ayat-ayat al-Qur’an sehingga seolah-olah merupakan satu ungkapan yang mempunyaisatu kesetuan makna dan keteraturan redaksi.
Selain itu, menurut Menurut Manna Al-qathan munasabah
adalah sisi keterikatan antara beberapa ungkapan di dalam satu ayat, atau antar
ayat pada beberapa ayat atau antar surat
dalam al-qur’an. M. Quraisy Shihab memberi pengertian munasabah sebagai
kemiripan-kemiripan yang terdapat pada hal-hal tertentu dalam al-Qur’an, baik
surah maupun ayat-ayatnya yang menghubungkan uraian satu ayat dengan yang
lainnya. Al-Biqa’i menjelaskan bahwa ilmu munasabah al-Qur’an adalah suatu ilmu
yang mengetahui alasan-alasan yang menyebabkan susunan atau urutan
bagian-bagian al-Qur’an, baik ayat dengan ayat ataupun surah dengan surah.
Dengan demikian pembahasan munasabah adalah berkisar pada segala macam hubungan
yang ada : seperti hubungan umum atau khusus, rasional dan sensual atau
imajinatif, kausalitas, ‘illat dan ma’lul, kontradiksi dan sebagainya.
Timbulnya ilmu munasabah ini tampaknya bertolak dari fakta sejarah bahwa susunan ayat dan tertib surah demi surah al-Qur’an sebagaimana yang terdapat dalam mushhaf sekarang ( mushhaf ‘Utsmani atau yang lebih dikenal dengan mushhaf al-Imam ), tidak didasarkan fakta kronologis. Kronologis turunnya ayat-ayat atau surah-surah al-Qur’an tidak diawali dengan Q.S al-Fatihah, tetapi diawali dengan lima ayat pertama dari Q.S Al-‘Alaq. Surah yang kedua turun adalah Q.S al-Muddatsir. Sementara surah kedua dalam mushhaf yang digunakan sekarang Q.S al-Baqarah.
Berdasarkan kepada beberapa pengertian sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, pada prinsipnya munasabah Al-Qur’an mencakup hubungan antar kalimat, antar ayat, serta antar surah. Macam-macam hubungan tersebut apabila diperinci akan menjadi sebagai berikut :
1. Munasabah antara surah dengan surah.
2. Munasabah antara nama surah dengan kandunagan isinya.
3. Munasabah antara kalimat dalam satu ayat.
4. Munasabah antara ayat dengan ayat dalam satu surah.
5. Munasabah antara ayat dengan isi ayat itu sendiri.
6. Munasabah antara uraian surah dengan akhir uraian surah.
7. Munasabah antara akhir surah dengan awal surah berikutnya.
8. Munasabah antara ayat tentang satu tema.
Dalam upaya memahami lebih jauh tentang aspek-aspek munasabah yang telah diterangkan di atas akan diajukan beberapa contoh di bawah ini.
1. Munasabah Antara Surah Dengan Surah.
Keserasian hubungan atau munasabah antar surah ini pada hakikatnya memperlihatkan kaitan yang erat dari suatu surah dengan surah lainnya.
Bentuk munasabah yang tercermin pada masing-masing surah, kelihatannya memperlihatkan kesatuan tema. Salah satunya memuat tema sentral, sedangkan surat-surat yang lainnya menguraikan sub-sub tema berikut perinciannya, baik secara umum maupun secara parsial. Salah satu contoh yang dapat diajukan di sini adalah munasabah yang dapat ditarik pada tiga surah beruntun, masing-masing Q.S al-Fatihah (1), Q.S al-baqarah (2), dan Q.S Al-Imran (3).
Timbulnya ilmu munasabah ini tampaknya bertolak dari fakta sejarah bahwa susunan ayat dan tertib surah demi surah al-Qur’an sebagaimana yang terdapat dalam mushhaf sekarang ( mushhaf ‘Utsmani atau yang lebih dikenal dengan mushhaf al-Imam ), tidak didasarkan fakta kronologis. Kronologis turunnya ayat-ayat atau surah-surah al-Qur’an tidak diawali dengan Q.S al-Fatihah, tetapi diawali dengan lima ayat pertama dari Q.S Al-‘Alaq. Surah yang kedua turun adalah Q.S al-Muddatsir. Sementara surah kedua dalam mushhaf yang digunakan sekarang Q.S al-Baqarah.
Berdasarkan kepada beberapa pengertian sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, pada prinsipnya munasabah Al-Qur’an mencakup hubungan antar kalimat, antar ayat, serta antar surah. Macam-macam hubungan tersebut apabila diperinci akan menjadi sebagai berikut :
1. Munasabah antara surah dengan surah.
2. Munasabah antara nama surah dengan kandunagan isinya.
3. Munasabah antara kalimat dalam satu ayat.
4. Munasabah antara ayat dengan ayat dalam satu surah.
5. Munasabah antara ayat dengan isi ayat itu sendiri.
6. Munasabah antara uraian surah dengan akhir uraian surah.
7. Munasabah antara akhir surah dengan awal surah berikutnya.
8. Munasabah antara ayat tentang satu tema.
Dalam upaya memahami lebih jauh tentang aspek-aspek munasabah yang telah diterangkan di atas akan diajukan beberapa contoh di bawah ini.
1. Munasabah Antara Surah Dengan Surah.
Keserasian hubungan atau munasabah antar surah ini pada hakikatnya memperlihatkan kaitan yang erat dari suatu surah dengan surah lainnya.
Bentuk munasabah yang tercermin pada masing-masing surah, kelihatannya memperlihatkan kesatuan tema. Salah satunya memuat tema sentral, sedangkan surat-surat yang lainnya menguraikan sub-sub tema berikut perinciannya, baik secara umum maupun secara parsial. Salah satu contoh yang dapat diajukan di sini adalah munasabah yang dapat ditarik pada tiga surah beruntun, masing-masing Q.S al-Fatihah (1), Q.S al-baqarah (2), dan Q.S Al-Imran (3).
PENERTIAN KEDUDUKAN
PENDAPAT PARA ULAMA TENTANG MUHKAM DAN
MUSTABIH
·
Pengertian
Muhkam dan Mutasyabih
Menurut etimologi muhkam artinya suatu ungkapan yang maksud
makna lahirnya tidak mungkin diganti atau diubah. Adapun mutasyabih adalah
ungkapan yang maksud makna lahirnya samar.
Menurut istilah, para ulama berbeda-beda dalam memberikan
pengertian muhkam dan mutasyabih, yakni sebagai berikut:
a) Ulama golongan Ahlus
Sunnah Wal Jama’ah mengatakan, lafal muhkam adalah lafal yang diketahui makna
maksudnya, baik karena memang sudah jelas artinya maupun karena dengan
ditakwilkan. Sedangkan lafal mutasyabih adalah lafal yang pengetahuan artinya
hanya dimonopoli Allah SWT. Manusia tidak ada yang bias mengetahuinya.
Contohnya, terjadinya hari kiamat, keluarnya Dajjal, arti huruf-huruf
Muqaththa’ah.
b) Ulama golongan Hanafiyah
mengatakan, lafal muhkam ialah lafal yang jelas petunjuknya, dan tidak mungkin
telah dinasakh (dihapuskan hukumnya). Sedang lafal mutasyabih adalah lafal yang
samar maksud petunjuknya, sehingga tidak terjangkau oleh akal pikiran manusia
atau pun tidak tercantum dalam dalil-dalil nash (teks dalil-dalil). Sebab,
lafal mutasyabih termasuk hal-hal yang diketahui Allah saja artinya. Contohnya
seperti hal-hal yang ghaib.
c) Mayoritas ulama golongan
ahlul fiqh yang berasal dari pendapat sahabat Ibnu Abbas mengatakan, lafal
muhkam ialah lafal yang tidak bisa ditakwilkan kecuali satu arah atau segi
saja. Sedangkan lafal mutasyabih adalah artinya dapat ditakwilkan dalam
beberapah arah atau segi, karena masih sama. Misalnya, seperti masalah surga,
neraka, dan sebagainya.
d) Imam Ibnu Hanbal dan
pengikut-pengikutnya mengatakan, lafal muhkam adalah lafal yang bisa
berdiri sendiri atau telah jelas dengan sendirinya tanpa membutuhkan keterangan
yang lain. Sedang lafal yang tidak bisa berdiri sendiri adalah lafal
mutasyabih, yang membutuhkan penjelasan arti maksudnya, karena adanya
bermacam-macam takwilan terhadap lafal tersebut. Contohnya seperti lafal yang
bermakna ganda (lafal musytarak), lafal yang asing (gharib), lafal yang berarti
lain (lafal majaz), dan sebagainya.
e) Imamul Haramain, bahwa
lafal muhkam ialah lafal yang tepat susunan, dan tertibnya secara biasa,
sehingga mudah dipahami arti dan maksudnya sedangkan lafal mutasyabih adalah
lafal yang makna maksudnya tidak terjangkau oleh ilmu bahasa manusia, kecuali
jika disertai dengan adanya tanda-tanda atau isyaratyang menjelaskannya.
Contohnya seperti lafal yang musytarak, mutlak, khafi (samara), dan sebagainya.
f) Imam Ath-Thibi
mengatakan, lafal muhlam ialah lafal yang jelas maknanya, sehingga tidak
mengakibatkan kemusykilan atau kesulitan arti. Sebab, lafal muhkam itu diambil
dari lafal ihkam (Ma’khuudzul Ihkami) yang berarti baik atau bagus. Contohnya
seperti yang dhahir, lafal yang tegas, dan sebagainya. Sedangkan lafal yang
mutasyabih ialah sebaliknya, yakni yang sulit dipahami, sehingga mengakibatkan
kemusykilan atau kesukaran. Contohnya seperti lafal musytarak, mutlak, dan
sebagainya.
g) Imam Fakhruddin Ar-Razi
berpendapat lafal muhkam ialah lafal yang petunjuknya kepada sesuatu makna itu
kuat, seperti lafal yang nash, atau yang jelas, dan sebagainya. Sedangkan lafal
mutasyabih ialah lafal yang petunjuknya tidak kuat, seperti lafal yang global,
yang musykil, yang ditakwili, dan sebagainya.
h) Ikrimah dan Qatadah
mengatakan, lafal muhkam ialah lafal yang isi maknanya dapat diamalkan, karena
sudah jelas dan tegas, seperti umumnya lafal Al-Quran. Sedangkan lafal
mutasyabih ialah lafal yang isi maknanya tidak perlu diamalkan, melainkan cukup
diimani eksistensinya saja.
i) Muhkam adalah
ayat yang hanya mengandung satu wajah, sedang mutasyabih mengandung banyak
wajah.
Jadi, jika semua definisi muhkam tersebut dirangkum, maka
pengertian muhkam ialah lafal yang artinya dapat diketahui dengan jelas dan
kuat secara berdiri sendiri tanpa ditakwilkan karena susunan tertibnya tepat,
dan tidak musykil, karena pengertiannya masuk akal, sehingga dapat diamalkan
karena tidak dinasakh. Sedangkan pengertian mutasyabih ialah lafal-Al-Quran
yang artinya samar, sehingga tidak dapat dijangkau oleh akal manusia karena
bisa ditakwilkan macam-macam sehingga tidak dapat berdiri sendiri karena
susunan tertibnya kurang tepat sehingga menimbulkan kesulitan cukup diyakini
adanya saja dan tidak perlu amalkan, karena merupakan ilmu yang hanya
dimonopoli Allah SWT.
PENGERTIAN KEDUDUKAN
PENDAPAT PARA ULAMA TENTANG QIRAATUL QUR’AN
Secara etimologi, lafal qira’at ( قراءة ) merupakan bentuk
masdar dari ( قرأ ) yang artinya bacaan. Sedangkan menurut terminologi,
terdapat berbagai pendapat para ulama yang sehubungan dengan pengertian qira’at
ini.
Menurut Al-Dimyathi sebagaimana dikutip oleh Dr. Abdul Hadi al-Fadli bahwasanya qira’at adalah: “Suatu ilmu untuk mengetahui cara pengucapan lafal-lafal al-Qur’an, baik yang disepakati maupun yang diikhtilapkan oleh para ahli qira’at, seperti hazf (membuang huruf), isbat (menetapkan huruf), washl (menyambung huruf), ibdal (menggantiukan huruf atau lafal tertentu) dan lain-lain yang didapat melalui indra pendengaran.”
Sedangkan menurut Imam Shihabuddin al-Qushthal, qira’at adalah “Suatu ilmu untuk mengetahui kesepakatan serta perbedaan para ahli qira’at, seperti yang menyangkut aspek kebahasaan, i’rab, isbat, fashl dan lain-lain yang diperoleh dengan cara periwayatan.”
Dari definisi-definisi di atas, tampak bahwa qira’at al-Qur’an berasal dari Nabi Muhammad SAW, melalui al-sima ( السماع ) dan an-naql ( النقل ). Berdasarkan uraian di atas pula dapat disimpulkan bahwa:
• Yang dimaksud qira’at dalam bahasan ini, yaitu cara pengucapan lafal-lafal al-Qur’an sebagaimana di ucapkan Nabi atau sebagaimana di ucapkan para sahabat di hadapan Nabi lalu beliau mentaqrirkannya.
• Qira’at al-Qur’an diperoleh berdasarkan periwayatan Nabi SAW, baik secara fi’liyah maupun taqririyah.
• Qira’at al-Qur’an tersebut adakalanya memiliki satu versi qira’at dan adakalanya memiliki beberapa versi.
Selain itu ada beberapa ulama yang mengaitkan definisi qira’at dengan madzhab atau imam qira’at tertentu. Muhammad Ali ash-Shobuni misalnya, mengemukakan definisi sebagai berikut: “Qira’at merupakan suatu madzhab tertentu dalam cara pengucapan al-Qur’an, dianut oleh salah satu imam qira’at yang berbeda dengan madzhab lainnya, berdasarkan sanad-sanadnya yang bersambung sampai kepada Nabi SAW.”
Sehubungan dengan ini, terdapat beberapa istilah tertentu dalam menisbatkan suatu Qira’at al-Qur’an kepada salah seorang imam qira’at dan kepada orang-orang sesudahnya. Istilah tersebut antara lain adalah sebagai berikut:
1. القرأة : Apabila Qira’at al-Qur’an dinisbatkan kepada salah seorang imam qira’at tertentu seperti qira’at Nabi umpamanya.
2. الرواية : Apabila Qira’at al-Qur’an dinisbatkan kepada salah seorang perawi qira’at dari imamnya.
3. الطريق : Apabila Qira’at al-Qur’an dinisbatkan kepada salah seorang pembaca al-qur’an berdasarkan pilihannya terhadap versi qira’at tertentu.
Menurut Al-Dimyathi sebagaimana dikutip oleh Dr. Abdul Hadi al-Fadli bahwasanya qira’at adalah: “Suatu ilmu untuk mengetahui cara pengucapan lafal-lafal al-Qur’an, baik yang disepakati maupun yang diikhtilapkan oleh para ahli qira’at, seperti hazf (membuang huruf), isbat (menetapkan huruf), washl (menyambung huruf), ibdal (menggantiukan huruf atau lafal tertentu) dan lain-lain yang didapat melalui indra pendengaran.”
Sedangkan menurut Imam Shihabuddin al-Qushthal, qira’at adalah “Suatu ilmu untuk mengetahui kesepakatan serta perbedaan para ahli qira’at, seperti yang menyangkut aspek kebahasaan, i’rab, isbat, fashl dan lain-lain yang diperoleh dengan cara periwayatan.”
Dari definisi-definisi di atas, tampak bahwa qira’at al-Qur’an berasal dari Nabi Muhammad SAW, melalui al-sima ( السماع ) dan an-naql ( النقل ). Berdasarkan uraian di atas pula dapat disimpulkan bahwa:
• Yang dimaksud qira’at dalam bahasan ini, yaitu cara pengucapan lafal-lafal al-Qur’an sebagaimana di ucapkan Nabi atau sebagaimana di ucapkan para sahabat di hadapan Nabi lalu beliau mentaqrirkannya.
• Qira’at al-Qur’an diperoleh berdasarkan periwayatan Nabi SAW, baik secara fi’liyah maupun taqririyah.
• Qira’at al-Qur’an tersebut adakalanya memiliki satu versi qira’at dan adakalanya memiliki beberapa versi.
Selain itu ada beberapa ulama yang mengaitkan definisi qira’at dengan madzhab atau imam qira’at tertentu. Muhammad Ali ash-Shobuni misalnya, mengemukakan definisi sebagai berikut: “Qira’at merupakan suatu madzhab tertentu dalam cara pengucapan al-Qur’an, dianut oleh salah satu imam qira’at yang berbeda dengan madzhab lainnya, berdasarkan sanad-sanadnya yang bersambung sampai kepada Nabi SAW.”
Sehubungan dengan ini, terdapat beberapa istilah tertentu dalam menisbatkan suatu Qira’at al-Qur’an kepada salah seorang imam qira’at dan kepada orang-orang sesudahnya. Istilah tersebut antara lain adalah sebagai berikut:
1. القرأة : Apabila Qira’at al-Qur’an dinisbatkan kepada salah seorang imam qira’at tertentu seperti qira’at Nabi umpamanya.
2. الرواية : Apabila Qira’at al-Qur’an dinisbatkan kepada salah seorang perawi qira’at dari imamnya.
3. الطريق : Apabila Qira’at al-Qur’an dinisbatkan kepada salah seorang pembaca al-qur’an berdasarkan pilihannya terhadap versi qira’at tertentu.
Latar Belakang Timbulnya Perbedaan Qira’at
Mengenai hal ini, terjadi perbedaan pula dari para ulama tentang apa sebenarnya yang menyebabkan perbedaan tersebut. Berikut pendapat para ulama:
1. Sebagaimana ulama berpendapat bahwa perbedaan Qira’at al-Qur’an disebabkan karena perbedaan qira’at Nabi SAW, artinya dalam menyampaikan dan mengajarkan al-Qur’an, beliau membacakannya dalam berbagai versi qira’at. Contoh: Nabi pernah membaca ayat 76 surat ar-Rahman dengan qira’at yang berbeda. Ayat tersebut berbunyi:
مُتَّكِئِيْنَ عَلَى رَفْرَفٍ خُضْرٍ وَ عَبْقَرِيٍّ حِسَاٍن
Lafadz ( رَفْرَفٍ ) juga pernah dibaca Nabi dengan lafadz ( رَفَارَفٍ ), demikian pula dengan lafadz ( عَبْقَرِيٍّ ) pernah dibaca ( عَبَاقَرِيٍّ ), sehingga menjadi:
مُتَّكِئِيْنَ عَلَى رَفَارَفٍ خُضْرٍ وَعَبَاقَرِيٍّ حِسَانٍ
2. Pendapat lain mengatakan: Perbedaan pendapat disebabkan adanya taqrir Nabi terhadap berbagai qira’at yang berlaku dikalangan kaum muslimin pada saat itu. Sebagai contoh: ( حَتَّى حِيْنَ ) dibaca ( حَتَّى عِيْنَ ), atau ( تَعْلَمْ ) dibaca ( تِعْلَمْ ).
3. Suatu pendapat mengatakan, perbedaan qira’at disebabkan karena perbedaannya qira’at yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi melalui perantaraan Malaikat jibril.
4. Jumhur ulama ahli qira’at berpendapat perbedaan qira’at disebabkan adanya riwayat para sahabat Nabi SAW menyangkut berbagai versi qira’at yang ada.
5. Sebagian ulama berpendapat, perbedaan qira’at disebabkan adanya perbedaan dialek bahasa di kalangan bangsa Arab pada masa turunnya al-Qur’an.
6. Perbedaan qira’at merupakan hasil ijtihad atau rekayasa para imam qira’at. Bayhaqi menjelaskan bahwa mengikuti orang-orang sebelum kita dalam hal-hal qira’at merupakan sunnah, tidak boleh menyalahi mushaf dan tidak pula menyalahi qira’at yang mashur meskipun tidak berlaku dalam bahasa arab.
Mengenai hal ini, terjadi perbedaan pula dari para ulama tentang apa sebenarnya yang menyebabkan perbedaan tersebut. Berikut pendapat para ulama:
1. Sebagaimana ulama berpendapat bahwa perbedaan Qira’at al-Qur’an disebabkan karena perbedaan qira’at Nabi SAW, artinya dalam menyampaikan dan mengajarkan al-Qur’an, beliau membacakannya dalam berbagai versi qira’at. Contoh: Nabi pernah membaca ayat 76 surat ar-Rahman dengan qira’at yang berbeda. Ayat tersebut berbunyi:
مُتَّكِئِيْنَ عَلَى رَفْرَفٍ خُضْرٍ وَ عَبْقَرِيٍّ حِسَاٍن
Lafadz ( رَفْرَفٍ ) juga pernah dibaca Nabi dengan lafadz ( رَفَارَفٍ ), demikian pula dengan lafadz ( عَبْقَرِيٍّ ) pernah dibaca ( عَبَاقَرِيٍّ ), sehingga menjadi:
مُتَّكِئِيْنَ عَلَى رَفَارَفٍ خُضْرٍ وَعَبَاقَرِيٍّ حِسَانٍ
2. Pendapat lain mengatakan: Perbedaan pendapat disebabkan adanya taqrir Nabi terhadap berbagai qira’at yang berlaku dikalangan kaum muslimin pada saat itu. Sebagai contoh: ( حَتَّى حِيْنَ ) dibaca ( حَتَّى عِيْنَ ), atau ( تَعْلَمْ ) dibaca ( تِعْلَمْ ).
3. Suatu pendapat mengatakan, perbedaan qira’at disebabkan karena perbedaannya qira’at yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi melalui perantaraan Malaikat jibril.
4. Jumhur ulama ahli qira’at berpendapat perbedaan qira’at disebabkan adanya riwayat para sahabat Nabi SAW menyangkut berbagai versi qira’at yang ada.
5. Sebagian ulama berpendapat, perbedaan qira’at disebabkan adanya perbedaan dialek bahasa di kalangan bangsa Arab pada masa turunnya al-Qur’an.
6. Perbedaan qira’at merupakan hasil ijtihad atau rekayasa para imam qira’at. Bayhaqi menjelaskan bahwa mengikuti orang-orang sebelum kita dalam hal-hal qira’at merupakan sunnah, tidak boleh menyalahi mushaf dan tidak pula menyalahi qira’at yang mashur meskipun tidak berlaku dalam bahasa arab.
Tingkatan Qira’at
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa qira’at bukanlah merupakan hasil ijtihad para ulama, karena ia bersumber dari Nabi SAW. Namun untuk membedakan mana qira’at yang berasal dari Nabi SAW dan mana yang bukan, maka para ulama menetapkan pedoman atau persyaratan tertentu. Ada 3 persyaratan bagi qira’at al-Qur’an untuk dapat digolongkan sebagai qira’at shahih, yaitu:
1. صحة السند , harus memiliki sanad yang shahih
2. مطابقة الرسم , harus sesuai dengan rasm mushaf salah satu mushaf Utsmani
3. موافقة العربية , harus sesuai dengan kaidah Bahasa Arab.
Jika salah satu dari persyaratan ini tidak terpenuhi, maka qira’at itu dinamakan qira’at yang lemah, syadz atau bathil.
Berdasarkan kuantitas sanad dalam periwayatan qira’at tersebut dari Nabi SAW, maka para ulama mengklasifikasikan qira’at al-Qur’an kepada beberapa macam tingkatan. Sebagian ulama membagi qira’at kepada 6 macam tingkatan, yaitu sebagai berikut:
1. المتواتر : Qira’at yang dinukil oleh sejumlah besar periwayat yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta.
2. المشهور : Qira’at yang shahih sanadnya tetapi tidak mencapai derajat mutawatir dan sesuai dengan kaidah Bahasa Arab juga rasm Utsmani.
3. الآحد : Qira’at yang shahih sanadnya tetapi menyalahi rasm Utsmani ataupun kaidan Bahasa Arab (qira’at ini tidak termasuk qira’at yang diamalkan).
4. الشاذ : Qira’at yang tidak shahih sanadnya, seperti qira’at مَلَكَ يَوْمَ الدِّيْنِ , versi lain qira’at yang terdapat dalam firman Allah, berikut: مَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ (الفاتحة:4)
5. الموضوع : Qira’at yang tidak ada asalnya.
6. المدرج : Qira’at yang berfungsi sebagai tafsir atau penjelas terhadap suatu ayat al-Qur’an.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa qira’at bukanlah merupakan hasil ijtihad para ulama, karena ia bersumber dari Nabi SAW. Namun untuk membedakan mana qira’at yang berasal dari Nabi SAW dan mana yang bukan, maka para ulama menetapkan pedoman atau persyaratan tertentu. Ada 3 persyaratan bagi qira’at al-Qur’an untuk dapat digolongkan sebagai qira’at shahih, yaitu:
1. صحة السند , harus memiliki sanad yang shahih
2. مطابقة الرسم , harus sesuai dengan rasm mushaf salah satu mushaf Utsmani
3. موافقة العربية , harus sesuai dengan kaidah Bahasa Arab.
Jika salah satu dari persyaratan ini tidak terpenuhi, maka qira’at itu dinamakan qira’at yang lemah, syadz atau bathil.
Berdasarkan kuantitas sanad dalam periwayatan qira’at tersebut dari Nabi SAW, maka para ulama mengklasifikasikan qira’at al-Qur’an kepada beberapa macam tingkatan. Sebagian ulama membagi qira’at kepada 6 macam tingkatan, yaitu sebagai berikut:
1. المتواتر : Qira’at yang dinukil oleh sejumlah besar periwayat yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta.
2. المشهور : Qira’at yang shahih sanadnya tetapi tidak mencapai derajat mutawatir dan sesuai dengan kaidah Bahasa Arab juga rasm Utsmani.
3. الآحد : Qira’at yang shahih sanadnya tetapi menyalahi rasm Utsmani ataupun kaidan Bahasa Arab (qira’at ini tidak termasuk qira’at yang diamalkan).
4. الشاذ : Qira’at yang tidak shahih sanadnya, seperti qira’at مَلَكَ يَوْمَ الدِّيْنِ , versi lain qira’at yang terdapat dalam firman Allah, berikut: مَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ (الفاتحة:4)
5. الموضوع : Qira’at yang tidak ada asalnya.
6. المدرج : Qira’at yang berfungsi sebagai tafsir atau penjelas terhadap suatu ayat al-Qur’an.
Macam-macam Qira’at
Yang dimaksud dengan macam-macam qira’at disini yaitu ragam qira’at yang dapat diterima sebagai qira’at al-Qur’an. Dan hal ini banyak menyangkut qira’at sab’ah dan qira’at syazzat.
Yang dimaksud dengan macam-macam qira’at disini yaitu ragam qira’at yang dapat diterima sebagai qira’at al-Qur’an. Dan hal ini banyak menyangkut qira’at sab’ah dan qira’at syazzat.
a. Qira’at Sab’ah
Yaitu tujuh versi qira’at yang diisbatkan kepada para imam qira’at yang berjumlah tujuh orang, yaitu: Ibn Amir, Ibn Katsir, Ashm, Abu Amr, Hamzah, Nafi dan al-Kisai. Qira’at ini dikenal di dunia Islam pada akhir abad ke-2 hijrah, dan di bukukan pada akhir abad ke-3 hijrah di Baghdad, oleh seorang ahli qira’at bernama Ibn Mujahid Ahmad Ibn Musa Ibn Abbas.
Contoh qira’at sab’ah yang tidak mempengaruhi makna, adalah: وَقُوْلُوْا لِلنَّاسِ حُسْنًا {البقرة : 83} Ibn Katsir, Abu Amr, Nafi, Ashm dan Ibn Amir membaca حُسْبًا , sementara Hamzah dan al-Kisai membaca حَسَنًا .
Contoh qira’at sab’ah yang mempengaruhi makna, adalah: وَمَا رَبُّكَ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُوْنَ {الأنعام : 132 } Ibn Amir membaca تَعْمَلُوْنَ , sementara yang lainnya membaca يَعْمَلُوْنَ .
Yaitu tujuh versi qira’at yang diisbatkan kepada para imam qira’at yang berjumlah tujuh orang, yaitu: Ibn Amir, Ibn Katsir, Ashm, Abu Amr, Hamzah, Nafi dan al-Kisai. Qira’at ini dikenal di dunia Islam pada akhir abad ke-2 hijrah, dan di bukukan pada akhir abad ke-3 hijrah di Baghdad, oleh seorang ahli qira’at bernama Ibn Mujahid Ahmad Ibn Musa Ibn Abbas.
Contoh qira’at sab’ah yang tidak mempengaruhi makna, adalah: وَقُوْلُوْا لِلنَّاسِ حُسْنًا {البقرة : 83} Ibn Katsir, Abu Amr, Nafi, Ashm dan Ibn Amir membaca حُسْبًا , sementara Hamzah dan al-Kisai membaca حَسَنًا .
Contoh qira’at sab’ah yang mempengaruhi makna, adalah: وَمَا رَبُّكَ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُوْنَ {الأنعام : 132 } Ibn Amir membaca تَعْمَلُوْنَ , sementara yang lainnya membaca يَعْمَلُوْنَ .
b. Qira’at Syazzat
Yaitu qira’at yang sanadnya shahih, sesuai dengan kaidah Bahasa Arab, akan tetapi menyalahi rasm Ustmani. Dengan demikian qira’at ini dapat diterima eksistensinya, akan tetapi para ulama sepakat tidak mengakui kegunaannya, dengan kata lain qira’at ini dimaksudkan sebagai penjelasan terhadap qira’at yang terkenal diakui kegunaannya.
Beberapa contoh qira’at syazzat:
• Qira’at Aisyah dan Hafsah
• Qira’at Ibn Mas’ud
• Qira’at Ubay Ibn Ka’ab
• Qira’at Sa’ad Ibn Abi Waqash
• Qira’at Ibn Abbas
• Qira’at Jabir
Yaitu qira’at yang sanadnya shahih, sesuai dengan kaidah Bahasa Arab, akan tetapi menyalahi rasm Ustmani. Dengan demikian qira’at ini dapat diterima eksistensinya, akan tetapi para ulama sepakat tidak mengakui kegunaannya, dengan kata lain qira’at ini dimaksudkan sebagai penjelasan terhadap qira’at yang terkenal diakui kegunaannya.
Beberapa contoh qira’at syazzat:
• Qira’at Aisyah dan Hafsah
• Qira’at Ibn Mas’ud
• Qira’at Ubay Ibn Ka’ab
• Qira’at Sa’ad Ibn Abi Waqash
• Qira’at Ibn Abbas
• Qira’at Jabir
Kegunaan Mempelajari Qira’at
Dengan bervariasinya qira’at, maka banyak sekali manfaat atau faedahnya, diantaranya:
1. Menunjukkan betapa terpelihara dan terjaganya kitab Allah dari perubahan dan penyimpangan.
2. Meringankan umat Islam dan memudahkan mereka untuk membaca al-Qur’an
3. Bukti kemukjizatan al-Qur’an dari segi kepadatan makna, karena setiap qira’at menunjukkan sesuatu hukum syara tertentu tanpa perlu pengulangan lafadz.
4. Penjelasan terhadap apa yang mungkin masih global dalam qira’at lain.
5. Memperbesar pahala.
Dengan bervariasinya qira’at, maka banyak sekali manfaat atau faedahnya, diantaranya:
1. Menunjukkan betapa terpelihara dan terjaganya kitab Allah dari perubahan dan penyimpangan.
2. Meringankan umat Islam dan memudahkan mereka untuk membaca al-Qur’an
3. Bukti kemukjizatan al-Qur’an dari segi kepadatan makna, karena setiap qira’at menunjukkan sesuatu hukum syara tertentu tanpa perlu pengulangan lafadz.
4. Penjelasan terhadap apa yang mungkin masih global dalam qira’at lain.
5. Memperbesar pahala.
Pengaruh Perbedaan Qira’at Terhadap Istinbat Hukum
Sebelum masuk kepada pengaruh perbedaan qira’at terhadap istinbat hukum, kata istinbat ( إستنباط ) adalah Bahasa Arab yang akar katanya al-nabth ( النبط ) artinya air yang pertama kali keluar atau tampak pada saat seseorang menggali sumur.
Adapun istinbat menurut bahasa berarti: “Mengeluarkan air dari mata air (dalam tanah)”, karena itu, secara umum kata istinbat dipergunakan dalam arti istikhraj ( استخراج ), mengeluarkan. Sedangkan menurut istilah, yang dimaksud istinbat yaitu:
إستخراج المعانى من النصوص بفرط الذهب وقوة الفريحة
“Mengeluarkan kandungan hukum dari nash-nash yang ada (al-Qur’an dan al-Sunnah), dengan ketajaman nalar serta kemampuan yang optimal.”
Sebelum masuk kepada pengaruh perbedaan qira’at terhadap istinbat hukum, kata istinbat ( إستنباط ) adalah Bahasa Arab yang akar katanya al-nabth ( النبط ) artinya air yang pertama kali keluar atau tampak pada saat seseorang menggali sumur.
Adapun istinbat menurut bahasa berarti: “Mengeluarkan air dari mata air (dalam tanah)”, karena itu, secara umum kata istinbat dipergunakan dalam arti istikhraj ( استخراج ), mengeluarkan. Sedangkan menurut istilah, yang dimaksud istinbat yaitu:
إستخراج المعانى من النصوص بفرط الذهب وقوة الفريحة
“Mengeluarkan kandungan hukum dari nash-nash yang ada (al-Qur’an dan al-Sunnah), dengan ketajaman nalar serta kemampuan yang optimal.”
Dari definisi di atas, dapat dipahami bahwa, esensi
istinbat yaitu: Upaya melahirkan ketentuan-ketentuan hukum yang terdapat baik
dalam al-Qur’an maupun al-Sunnah. Mengenai obyek atau sasarannya yaitu
dalil-dalil syar’i baik berupa nash maupun bukan nash, namun hal ini masih
berpedoman pada nash.
Adapun perbedaan qira’at al-Qur’an yang khusus menyangkut ayat-ayat hukum dan berpengaruh terhadap istinbat hukum, dapat dikemukakan dalam contoh berikut:
Firman Allah SAWT:
يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اِذَا قُمْتُمْ اِلَى الصَّلاَةِ قَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَاَيْدِيَكُمْ
اِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوْابِرُءُ وْسِكُمْ وَاَرْجُلَكُمْ اِلَى الْكَعْبَيْنِ { المائدة : 6 }
Adapun perbedaan qira’at al-Qur’an yang khusus menyangkut ayat-ayat hukum dan berpengaruh terhadap istinbat hukum, dapat dikemukakan dalam contoh berikut:
Firman Allah SAWT:
يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اِذَا قُمْتُمْ اِلَى الصَّلاَةِ قَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَاَيْدِيَكُمْ
اِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوْابِرُءُ وْسِكُمْ وَاَرْجُلَكُمْ اِلَى الْكَعْبَيْنِ { المائدة : 6 }
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak
mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan
sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai kedua mata kaki.” (QS. al-Maidah/5:
6)
Ayat ini menjelaskan, bahwa seseorang yang mau mendirikan
shalat, diwajibkan berwudhu. Adapun caranya seperti yang disebutkan dalam
firman Allah di atas. Sementara itu, para ulama berbeda pendapat tentang apakah
dalam berwudhu, kedua kaki ( وارجلكم ) wajib dicuci ataukah hanya wajib diusap
dengan air.
Hal ini dikarenakan adanya dua versi qira’at yang menyangkut hal ini. Ibn Katsir, Hamzah dan Abu Amr membaca وَاَرْجُلِكُمْ . Nafi, Ibn Amir dan al-Kisai membaca وَاَرْجُلَكُمْ Sementara Ashm riwayat Syu’bah membaca وَاَرْجُلِكُمْ , sedangkan Ashm riwayat Hafsah membaca وَاَرْجُلَكُمْ .
Hal ini dikarenakan adanya dua versi qira’at yang menyangkut hal ini. Ibn Katsir, Hamzah dan Abu Amr membaca وَاَرْجُلِكُمْ . Nafi, Ibn Amir dan al-Kisai membaca وَاَرْجُلَكُمْ Sementara Ashm riwayat Syu’bah membaca وَاَرْجُلِكُمْ , sedangkan Ashm riwayat Hafsah membaca وَاَرْجُلَكُمْ .
PENGERTIAN PERBEDAAN
TAFSIR,TA'WIL DAN TARJAMAH
1. Pengertian Tafsir.
Tafsir adalah keterangan atas Al-Qur’an yang belum dimengerti Maksudnya,
penjelasan atas ayat- ayat Al-Qur’an Tafsir secara Etimologis adalah penjelasan
dan mengungkapkan kata tafsir diambil dari kata fassara – yupassiru-
tafsiran yang berarti keterangan atau uraian. Pada dasarnya kata tafsir
berdasarkan bahasa tidak terlepas dari kandungan makna Al-Qur’an (Menjelaskan)
Al- Bayan ( Menerangkan ) Al-Kasif ( Mengungkapkan ), Al-Azhar ( Menampakkan )
dan Al-Ibanah ( Menjelaskan ). Tafsir secara Istilah adalah ilmu yang
membahas tentang cara mengucap lapaz Al-Qur’an, makna-makan yang ditujukan dan
hukum-hukumnya, baik ketika berdiri sendiri atau tersusun serta makna-makna
yang dimungkinkannya ketika dalam keadaan tersusun. Dari penjelasan diatas
pemakalah mencoba menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan tafsir adalah
menjelaskan atau menerangkan ayat-ayat Al-Qur’an yang belum paham maksudnya.
2.
Pengertian Ta’wil
Ta’wil menurut bahasa, terambil dari kata awala yaitu kembali kepada asal.
Diantara firman allah yang mengemukakan kata Ta’wil adalah Artinya : Untuk mencari Fitnah atau mencari-cari
takwilnya, pada hal tidak ada yang mengetahui taqwilnya kecuali allah. ( Qs,
Ali-Imran 7 )
Adapun
menurut ulama terdahulu, Ta’wil artinya Tafsir karena itu bila dikatakan Tafsir
Ta’wil Al-Qur’an, maka pengertiannya sama Ibn Jabir Al-tabari mengatakan dalam
tafsirnya, suatu pendapat tentang ta’wil dalam firman Allah ini atau ahli
Ta’wil berbeda pendapat tentang ayat ini… yang dimaksud disini adalah ahli
tafsir Ta’wil dalam istilah mempunyai dua pengertian yaitu :
1.Ta’wil
menakwilkan kalam ( Kata-kata ) berarti apa yang dikembalikan kepadanya oleh
orang yang berbicara atau apa yang di ta’wilkan oleh kata-kata dan
dikembalikan, kata-kata itu dikembalikan dan dipulangkan hanya kepada
hakekatnya, yaitu apa yang dimaksud, terbagi dua yaitu –insyak dan ikbar.
2.Ta’wil
kalam yaitu menafsirkan dan menerangkan hatinya apa yang dikemukakan Ibn jabir
At-Thabariy dalam tafsirnya katanya perkataan dalam menakwilkan firman tuhan
itu, bagini dan begini.
3. Pengertian Tarjamah.
Tarjamah berasal dari bahasa Arab yang berarti memindahkan makna lafal
kedalam bahasa lain, menurut pengertian istilah ” urfi ” tarjamah ialah
memindahkan pembicaraan dari satu bahsa ke bahasa lain. Tarjamah ialah
memindahkan makna kata bahasa pertama kepada kedua.
TAFSIR
SURAT AL
FATIHAH
Ringkasan tafsir dari surat
Al Fatihah:
الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ :“Segala puji bagi
Allah Rabbul ‘alamin.”
Segala pujian beserta sifat-sifat yang tinggi dan sempurna hanyalah milik Allah suhanahu wata’ala semata. Tiada siapa pun yang berhak mendapat pujian yang sempurna kecuali Allah suhanahu wata’ala. Karena Dia-lah Penguasa dan Pengatur segala sesuatu yang ada di alam ini. Dia-lah Sang Penguasa Tunggal, tiada sesuatu apa pun yang berserikat dengan kuasa-Nya dan tiada sesuatu apa pun yang luput dari kuasa-Nya pula. Dia-lah Sang Pengatur Tunggal, yang mengatur segala apa yang di alam ini hingga nampak teratur, rapi dan serasi. Bila ada yang mengatur selain Allah suhanahu wata’ala, niscaya bumi, langit dan seluruh alam ini akan hancur berantakan. Dia pula adalah Sang Pemberi rezeki, yang mengaruniakan nikmat yang tiada tara dan rahmat yang melimpah ruah. Tiada seorang pun yang sanggup menghitung nitmat yang diperolehnya. Disisi lain, ia pun tidak akan sanggup membalasnya. Amalan dan syukurnya belum sebanding dengan nikmat yang Allah suhanahu wata’ala curahkan kepadanya. Sehingga hanya Allah suhanahu wata’ala yang paling berhak mendapatkan segala pujian yang sempurna.
Segala pujian beserta sifat-sifat yang tinggi dan sempurna hanyalah milik Allah suhanahu wata’ala semata. Tiada siapa pun yang berhak mendapat pujian yang sempurna kecuali Allah suhanahu wata’ala. Karena Dia-lah Penguasa dan Pengatur segala sesuatu yang ada di alam ini. Dia-lah Sang Penguasa Tunggal, tiada sesuatu apa pun yang berserikat dengan kuasa-Nya dan tiada sesuatu apa pun yang luput dari kuasa-Nya pula. Dia-lah Sang Pengatur Tunggal, yang mengatur segala apa yang di alam ini hingga nampak teratur, rapi dan serasi. Bila ada yang mengatur selain Allah suhanahu wata’ala, niscaya bumi, langit dan seluruh alam ini akan hancur berantakan. Dia pula adalah Sang Pemberi rezeki, yang mengaruniakan nikmat yang tiada tara dan rahmat yang melimpah ruah. Tiada seorang pun yang sanggup menghitung nitmat yang diperolehnya. Disisi lain, ia pun tidak akan sanggup membalasnya. Amalan dan syukurnya belum sebanding dengan nikmat yang Allah suhanahu wata’ala curahkan kepadanya. Sehingga hanya Allah suhanahu wata’ala yang paling berhak mendapatkan segala pujian yang sempurna.
الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ :“Yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyanyang.”
Ar Rahman dan Ar Rahim adalah Dua nama dan sekaligus sifat bagi Allah suhanahu wata’ala, yang berasal dari kata Ar Rahmah. Makna Ar Rahman lebih luas daripada Ar Rahim. Ar Rahman mengandung makna bahwa Allah suhanahu wata’ala mencurahkan rahmat-Nya kepada seluruh makhluk-Nya, baik yang beriman atau pun yang kafir. Sedangkan Ar Rahim, maka Allah suhanahu wata’ala mengkhususkan rahmat-Nya bagi kaum mukminin saja. Sebagaimana firman Allah suhanahu wata’ala: “Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman”. (Al Ahzab: 43)
Ar Rahman dan Ar Rahim adalah Dua nama dan sekaligus sifat bagi Allah suhanahu wata’ala, yang berasal dari kata Ar Rahmah. Makna Ar Rahman lebih luas daripada Ar Rahim. Ar Rahman mengandung makna bahwa Allah suhanahu wata’ala mencurahkan rahmat-Nya kepada seluruh makhluk-Nya, baik yang beriman atau pun yang kafir. Sedangkan Ar Rahim, maka Allah suhanahu wata’ala mengkhususkan rahmat-Nya bagi kaum mukminin saja. Sebagaimana firman Allah suhanahu wata’ala: “Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman”. (Al Ahzab: 43)
مَالِكِ يِوْمِ الدِّيْنِ :“Yang menguasai hari kiamat.”
Para ‘ulama ahli tafsir telah menafsirkan makna Ad Din dari ayat diatas adalah hari perhitungan dan pembalasan pada hari kiamat nanti.
Umur, untuk apa digunakan? Masa muda, untuk apa dihabiskan? Harta, dari mana dan untuk apa dibelanjakan? Tiada seorang pun yang lepas dan lari dari perhitungan amal perbuatan yang ia lakukan di dunia. Allah suhanahu wata’ala berfirman (artinya):
“Tahukah kamu apakah hari pembalasan itu? Sekali lagi, tahukah kamu apakah hari pembalasan itu? (Yaitu) hari (ketika) seseorang tidak berdaya sedikitpun untuk menolong orang lain. Dan segala urusan pada hari itu dalam kekuasaan Allah”. (Al Infithar: 17-19)
Para ‘ulama ahli tafsir telah menafsirkan makna Ad Din dari ayat diatas adalah hari perhitungan dan pembalasan pada hari kiamat nanti.
Umur, untuk apa digunakan? Masa muda, untuk apa dihabiskan? Harta, dari mana dan untuk apa dibelanjakan? Tiada seorang pun yang lepas dan lari dari perhitungan amal perbuatan yang ia lakukan di dunia. Allah suhanahu wata’ala berfirman (artinya):
“Tahukah kamu apakah hari pembalasan itu? Sekali lagi, tahukah kamu apakah hari pembalasan itu? (Yaitu) hari (ketika) seseorang tidak berdaya sedikitpun untuk menolong orang lain. Dan segala urusan pada hari itu dalam kekuasaan Allah”. (Al Infithar: 17-19)
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنَ : “Hanya
kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami mohon pertolonga.”
Secara kaidah etimologi (bahasa) Arab, ayat ini terdapat uslub (kaidah) yang berfungsi memberikan penekanan dan penegasan. Yaitu bahwa tiada yang berhak diibadahi dan dimintai pertolongan kecuali hanya Allah suhanahu wata’ala semata. Sesembahan-sesembahan selain Allah itu adalah batil. Maka sembahlah Allah suhanahu wata’ala semata.
Secara kaidah etimologi (bahasa) Arab, ayat ini terdapat uslub (kaidah) yang berfungsi memberikan penekanan dan penegasan. Yaitu bahwa tiada yang berhak diibadahi dan dimintai pertolongan kecuali hanya Allah suhanahu wata’ala semata. Sesembahan-sesembahan selain Allah itu adalah batil. Maka sembahlah Allah suhanahu wata’ala semata.
Sementara itu, disebutkan permohonan tolong kepada Allah setelah
perkara ibadah, menunjukkan bahwa hamba itu sangat butuh kepada pertolongan
Allah suhanahu wata’ala untuk mewujudkan ibadah-ibadah yang murni kepada-Nya.
Selain itu pula, bahwa tiada daya dan upaya melainkan dari Allah suhanahu wata’ala. Maka mohonlah pertolongan itu hanya kepada Allah suhanahu wata’ala. Tidak pantas bertawakkal dan bersandar kepada selain Allah suhanahu wata’ala, karena segala perkara berada di tangan-Nya. Hal ini sebagaimana firman Allah suhanahu wata’ala (artinya):
“Maka sembahlah Dia dan bertawakkallah kepada-Nya”. (Hud: 123)
Selain itu pula, bahwa tiada daya dan upaya melainkan dari Allah suhanahu wata’ala. Maka mohonlah pertolongan itu hanya kepada Allah suhanahu wata’ala. Tidak pantas bertawakkal dan bersandar kepada selain Allah suhanahu wata’ala, karena segala perkara berada di tangan-Nya. Hal ini sebagaimana firman Allah suhanahu wata’ala (artinya):
“Maka sembahlah Dia dan bertawakkallah kepada-Nya”. (Hud: 123)
اهْدِنَا الصَّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ : “Tunjukkanlah kami ke
jalanmu yang lurus.”
Yaitu jalan yang terang yang mengantarkan kepada-Mu dan jannah (surga)-Mu berupa pengetahuan (ilmu) tentang jalan kebenaran dan kemudahan untuk beramal dengannya.
Yaitu jalan yang terang yang mengantarkan kepada-Mu dan jannah (surga)-Mu berupa pengetahuan (ilmu) tentang jalan kebenaran dan kemudahan untuk beramal dengannya.
Al Imam Ahmad dalam Musnadnya meriwayatkan dari shahabat An
Nawas bin Sam’an radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wasallam bersabda: “Allah memberikan permisalan ash shirathul mustaqim
(jembatan yang lurus), diantara dua sisinya terdapat dua tembok. Masing-masing
memiliki pintu-pintu yang terbuka, dan di atas pintu-pintu tersebut terdapat
tirai-tirai tipis dan di atas pintu shirath terdapat seorang penyeru yang
berkata: “Wahai sekalian manusia masuklah kalian seluruhnya ke dalam as shirath
dan janganlah kalian menyimpang. Dan ada seorang penyeru yang menyeru dari
dalam ash shirath, bila ada seseorang ingin membuka salah satu dari pintu-pintu
tersebut maka penyeru itu berkata: “Celaka engkau, jangan engkau membukanya,
karena jika engkau membukanya, engkau akan terjungkal kedalamnya. Maka ash
shirath adalah Al Islam, dua tembok adalah aturan-aturan Allah, pintu-pintu
yang terbuka adalah larangan-larangan Allah. Penyeru yang berada di atas ash
shirath adalah Kitabullah (Al Qur’an), dan penyeru yang berada didalam ash
shirath adalah peringatan Allah bagi hati-hati kaum muslimin”.
صِرَاطَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ : “Yaitu jalannya
orang-orang yang engkau beri kenikmatan.”
Siapakah mereka itu? Meraka adalah sebagaimana yang dalam firman Allah suhanahu wata’ala: “Dan barang siapa yang menta’ati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah yaitu: Nabi-nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang shalih. Dan mereka itulah sebaik-baik teman. Yang demikian itu adalah karunia dari Allah dan Allah cukup mengetahui”. (An Nisaa’: 69-70
Siapakah mereka itu? Meraka adalah sebagaimana yang dalam firman Allah suhanahu wata’ala: “Dan barang siapa yang menta’ati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah yaitu: Nabi-nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang shalih. Dan mereka itulah sebaik-baik teman. Yang demikian itu adalah karunia dari Allah dan Allah cukup mengetahui”. (An Nisaa’: 69-70
غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّآلِيْنَ : “Dan
bukan jalan orang-orang yang Engkau murkai dan bukan pula jalan orang-orang
yang sesat.”
Orang-orang yang dimurkai Allah suhanahu wata’ala adalah orang-orang yang mengetahui kebenaran akan tetapi enggan mengamalkannya. Mereka itu adalah kaum Yahudi. Allah suhanahu wata’ala berfirman berkenaan dengan keadaan mereka (artinya):
“Katakanlah Wahai Muhammad: Maukah Aku beritakan kepadamu tentang orang-orang yang lebih buruk pembalasannya dari (orang-orang fasik) itu di sisi Allah, yaitu orang-orang yang dikutuk dan dimurkai oleh Allah”. (Al Ma’idah: 60)
Orang-orang yang dimurkai Allah suhanahu wata’ala adalah orang-orang yang mengetahui kebenaran akan tetapi enggan mengamalkannya. Mereka itu adalah kaum Yahudi. Allah suhanahu wata’ala berfirman berkenaan dengan keadaan mereka (artinya):
“Katakanlah Wahai Muhammad: Maukah Aku beritakan kepadamu tentang orang-orang yang lebih buruk pembalasannya dari (orang-orang fasik) itu di sisi Allah, yaitu orang-orang yang dikutuk dan dimurkai oleh Allah”. (Al Ma’idah: 60)
Adapun jalan orang-orang yang sesat adalah bersemangat
untuk beramal dan beribadah, tapi bukan dengan ilmu. Akhirnya mereka sesat
disebabkan kebodohan mereka. Seperti halnya kaum Nashara. Allah suhanahu
wata’ala memberitakan tentang keadaan mereka:
“Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus”. (Al Ma’idah: 77)
“Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus”. (Al Ma’idah: 77)
غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّآلِيْنَ : maka
Beliau shalallahu ‘alaihi wasallam mengucapkan Amin sampai orang-orang yang di
belakangnya dari shaf pertama mendengar suaranya. (HR. Abu Dawud dan Ibnu
Majah)
Barang siapa yang ta’minnya bersamaan dengan ta’min malaikat, maka Allah suhanahu wata’ala menjanjikan ampunan bagi dia. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jika imam mengucapkan amin maka ikutilah, karena barang siapa yang ta’minnya bersamaan dengan ta’min malaikat, niscaya ia diampuni dosa-dosanya yang telah lalu”. (Muttafaqun alaih).
Barang siapa yang ta’minnya bersamaan dengan ta’min malaikat, maka Allah suhanahu wata’ala menjanjikan ampunan bagi dia. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jika imam mengucapkan amin maka ikutilah, karena barang siapa yang ta’minnya bersamaan dengan ta’min malaikat, niscaya ia diampuni dosa-dosanya yang telah lalu”. (Muttafaqun alaih).
TAFSIR QURAN TENTANG
PROSES PENCIPTAAN MANUSIA
Awal peciptaan manusia itu adalah sari sari pati tanah asli
seperti dalam surat
Al Mu’minun ayat 12. Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu
saripati (berasal) dari tanah. Para ahli
tafsir menafsirkan bahwa sari pati tanah itu sudah merupakan proses penyaringan
dan bukan dari tanah biasa sebagaimana yang kita fikirkan. Ini sangat sesuai
dengan kemuliaan yang diberikan oleh Allah S.W.T kepada manusia. Dari aspek
lain dipaparkan juga adalah kebesaran Allah S.W.T dalam penciptaan makhluknya
dan Dia sebagai Khaliqnya.
Dan dalam ayat lain di sebutkan peciptaan itu dari tanah liat dalam surat Asshaffat ayat 11. Maka tanyakanlah kepada mereka (musyrik Mekah): "Apakah mereka yang lebih kukuh kejadiannya ataukah apa yang telah Kami ciptakan itu?" Sesungguhnya Kami telah menciptakan mereka dari tanah liat(As-Shaffat 11).
Semua kita tau bahwa yang dikatakan tanah “liat” itu sifatnya menempel dan melekat bagai lem bisa di bentuk seperti apa mau kita coba saja kita bayangkan saat masih bermain2 di pinggir sungai dan membentuk tanah disekitar itu dengan tokoh2 lucu. Al-Qurtubiyy menguraikan bahwa pada dasarnya tanah liat ini tanah yang melekat atau menempel di antara satu sama lain,sehingga apabila menyatu tanah ini akan menjadi tanah yang keras .
Al-Qurtubiyy juga menerangkan di dalam tafsirnya bahwa manusia pertama yaitu yang dikaitkan dengan Adam dikatakan kekal sebagai satu komponen yang berbentuk tanah liat.Dan menempuh waktu selama 40 tahun sehingga sifat fisiknya berubah menjadi kering dan keras.
Dalam Alquran juga disebutkan kalau tanah itu berbau ini terdapat dalam surat Al hijjr ayat 26 “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia (Adam) dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. “
Dalam surat Ar-rahman ada lagi yang disebut dengan “tembikar”
“Dia menciptakan manusia dari tanah kering seperti tembikar” (Ar-rahman 15)
Dalam artian ini jelas kelihatan tanah yang di bentuk sudah keras sehingga bisa berdenting dan dapat menimbulkan suara yang bergemerincing ini menunjukkan bahwa saat nya Adam menjadi manusia yang lengkap sudah tiba. Dan ini dapat di katakan fase terakhir proses peciptaan adam sebagai manusia pertama setelah mengalami fase2 sebelumnya,disamping fase berikutnya adalah peniupan ruh.
Ini adalah fase terakhir proses penciptaan manusia pertama(Adam) dari aspek spiritual, setelah aspek fisiknya telah lengkap hingga ke tahap menjadi satu komponen wujud manusia. . Ruh mulanya masuk melalui hidung pada masa 40 th kemudian naik ke otak, kemudian mengisi kepala dan leher, kemudian turun ke dada dan pusat, kedua tangan dan kaki sampai tersebar keseluruh tubuh membentuk darah.
Allah menciptakan manusia dengan sempurna yaitu diberikannya bentuk tubuh yang baik, akal pikiran dan nafsu, kemudian manusia itu sendiri yang menentukan mampu atau tidaknya menggunakan pemberian Allah dengan baik (QS. Attin: 4-5). Ruh sebagai power untuk menghidupkan seluruh anggota badan, Akal sebagai alat untuk menerima ilmu pengetahuan atau untuk mengetahui hakikat sesuatu secara logis tanpa mempertimbangkan hal-hal yang irasional, anggota tubuh seperti panca indra yang hanya dapat merealisasikan secara indrawi tanpa mempertimbangkan pernghalangnya. Dari semua anggota tubuh manusia hanya Hati yang dapat menerima sesuatu yang mutlak dari Allah yang maha kuasa karena hati adalah sebagai tuan dari anggota tubuh, semua aktivitas anggota tubuh digerakkan oleh hati dan hati adalah Allah yang menggerakkan
Sepertinya hanya ini yang dapat di uraikan dan semoga ini bermanfaat adanya dan kalau ada salah kata dalam ;penyampain ini adalah kesalahan penulis semata,karena yang benar datangnya dari Allah.
Wallahualam
Sumber kutipan
Al_quranurkarim
Tasfsir Ibnu Katsir
Tafsir al-Qurtubiyy
Dan berbagai sumber lain.
Dan dalam ayat lain di sebutkan peciptaan itu dari tanah liat dalam surat Asshaffat ayat 11. Maka tanyakanlah kepada mereka (musyrik Mekah): "Apakah mereka yang lebih kukuh kejadiannya ataukah apa yang telah Kami ciptakan itu?" Sesungguhnya Kami telah menciptakan mereka dari tanah liat(As-Shaffat 11).
Semua kita tau bahwa yang dikatakan tanah “liat” itu sifatnya menempel dan melekat bagai lem bisa di bentuk seperti apa mau kita coba saja kita bayangkan saat masih bermain2 di pinggir sungai dan membentuk tanah disekitar itu dengan tokoh2 lucu. Al-Qurtubiyy menguraikan bahwa pada dasarnya tanah liat ini tanah yang melekat atau menempel di antara satu sama lain,sehingga apabila menyatu tanah ini akan menjadi tanah yang keras .
Al-Qurtubiyy juga menerangkan di dalam tafsirnya bahwa manusia pertama yaitu yang dikaitkan dengan Adam dikatakan kekal sebagai satu komponen yang berbentuk tanah liat.Dan menempuh waktu selama 40 tahun sehingga sifat fisiknya berubah menjadi kering dan keras.
Dalam Alquran juga disebutkan kalau tanah itu berbau ini terdapat dalam surat Al hijjr ayat 26 “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia (Adam) dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. “
Dalam surat Ar-rahman ada lagi yang disebut dengan “tembikar”
“Dia menciptakan manusia dari tanah kering seperti tembikar” (Ar-rahman 15)
Dalam artian ini jelas kelihatan tanah yang di bentuk sudah keras sehingga bisa berdenting dan dapat menimbulkan suara yang bergemerincing ini menunjukkan bahwa saat nya Adam menjadi manusia yang lengkap sudah tiba. Dan ini dapat di katakan fase terakhir proses peciptaan adam sebagai manusia pertama setelah mengalami fase2 sebelumnya,disamping fase berikutnya adalah peniupan ruh.
Ini adalah fase terakhir proses penciptaan manusia pertama(Adam) dari aspek spiritual, setelah aspek fisiknya telah lengkap hingga ke tahap menjadi satu komponen wujud manusia. . Ruh mulanya masuk melalui hidung pada masa 40 th kemudian naik ke otak, kemudian mengisi kepala dan leher, kemudian turun ke dada dan pusat, kedua tangan dan kaki sampai tersebar keseluruh tubuh membentuk darah.
Allah menciptakan manusia dengan sempurna yaitu diberikannya bentuk tubuh yang baik, akal pikiran dan nafsu, kemudian manusia itu sendiri yang menentukan mampu atau tidaknya menggunakan pemberian Allah dengan baik (QS. Attin: 4-5). Ruh sebagai power untuk menghidupkan seluruh anggota badan, Akal sebagai alat untuk menerima ilmu pengetahuan atau untuk mengetahui hakikat sesuatu secara logis tanpa mempertimbangkan hal-hal yang irasional, anggota tubuh seperti panca indra yang hanya dapat merealisasikan secara indrawi tanpa mempertimbangkan pernghalangnya. Dari semua anggota tubuh manusia hanya Hati yang dapat menerima sesuatu yang mutlak dari Allah yang maha kuasa karena hati adalah sebagai tuan dari anggota tubuh, semua aktivitas anggota tubuh digerakkan oleh hati dan hati adalah Allah yang menggerakkan
Sepertinya hanya ini yang dapat di uraikan dan semoga ini bermanfaat adanya dan kalau ada salah kata dalam ;penyampain ini adalah kesalahan penulis semata,karena yang benar datangnya dari Allah.
Wallahualam
Sumber kutipan
Al_quranurkarim
Tasfsir Ibnu Katsir
Tafsir al-Qurtubiyy
Dan berbagai sumber lain.
PENGERTIAN BENTUK
IZAJUL QURAN
Pengertian i’jaz menurut bahasa:
Untuk mendapatkan makna i’jaz al-Quran, yang merupakan
kata majemuk yang dalam bahasa Arab dinamakan tarkib idhofi, terlebih dahulu
kita harus memahami makna i’jaz secara etimologi. I’jaz adalah isim mashdar
dari ‘ajaza-yu’jizu-i’jazan yang mempunyai arti “ketidakberdayaan atau
keluputan” (naqid al-hazm). Dikatakan : a’jazani al-amru, artinya: “perkara itu
luput dariku”. Makna leksikal kedua adalaha “membuat tidak mampi”, seperti
dalam contoh a’jaza akhoohu “dia telah membuat saudaranya tidak mampi” manakala
dia telah menetapkan ketidakmampuan saudaranya itu dalam suatu hal. Kata i’jaz
juga berarti “terwujudnya ketidakmampuan”, seperti dalam contoh: a’jaztu zaidan
“aku mendapati Zaid tidak mampu”.
Pengertian i’jaz secara istilah:
Penampakan kebenaran pengklaiman kerasulan nabi Muhammad
SAW dalam ketidakmampuan orang Arab untu menandingi mukjizat nabi yang abadi,
yaitu al-Quran.Perbuatan seseorang pengklaim bahwa ia menjalankan fungsi
ilahiyah dengan cara melanggar ketentuan hokum alam dan membuat orang lain
tidak mampu melakukannya dan bersaksi akan kebenaran klaimnya.
Pengertian mukjizat:
- Sebuah fenomena adikodrati disertai dengan tantangan yang taktertandingi.
- Sebuah perkara luar biasa (khoriqun lil ‘adah) yang muncul pada diri seorang yang mengaku nabi dalam sebuah kapasitas tertentu yang tidak bias dilakukan oleh siapapun yang mengingkarinya.
Macam-macam mukjizat
Secara umum mukjizat dapat digolongkan menjadi dua
klasifikasi, yaitu:
Mu’jizat Indrawi (Hissiyyah)
Mukjizat jenis ini diderivasikan pada kekuatan yang
muncul dari segi fisik yang mengisyaratkan adanya kesaktian seorang nabi.
Secara umum dapat diambil contoh adalah mukjizat nabi Musa dapat membelah
lautan, mukjizat nabi Daud dapat melunakkan besi serta mukjizat nabi-nabi dari
bani Israil yang lain. Bahkan secara umum bila melihat komentar Imam Jalaludin
as-Suyuthi, dimana beliau berpendapat bahwa kebanyakan maukjizat yang
ditanpakkan Allah pada diri para nabi yang diutus kepada bani Israil adalah
mukjizat jenis fisik. Beliau menambahkan hal itu dikarenakan atas lemah dan
keterbelakangan tingkat intelegensi bani Israil.
Mukjizat Rasional (‘aqliyah)
Mukjizat ini tentunya sesuai dengan namanya lebih banyak
ditopang oleh kemampuan intelektual yang rasional. Dalam kasus al-Quran sebagai
mukjizat nabi Muhammad atas umatnya dapat dilihat dari segi keajaiban ilmiah
yang rasional dan oleh karena itulah mukjizat al-Quran ini bias abadi sampai
hari Qiamat. Jalaludin as-Suyuthi kembali berkomentar, bahwa sebab yang
melatarbelakangi diberikannya mukjizat rasional atas umat nabi Muhammad adalah
keberadaan mereka yang sudah relative matang dibidang intelektual. Beliau
menambahkan, oleh karena itu al-Quran adalam meukjizat rasional, maka sisi
i’jaznya hanya bias diketahui dengan kemampuan intelektual, lain halnya dengan
mukjizat fisik yang bias diketahui dengan instrument indrawi. Meskipun al-Quran
diklasifikasian sebagai mukjizat rasional ini tidak serta merta menafikan
mukjizat-mukjizat fisik yang telah dianugrahkan Allah kepadanya utnuk
memperkuat dakwahnya.
Segi-segi kemukjizatan al-Quran
Segi bahasa dan susunan redaksinya
Sejarah telah menyaksikan bahwa bangsa Arab pada saat
turunnya al-Quran telah mencapai tingkat yang belum pernah dicapai oleh bangsa
satu pun yang ada didunia ini, baik sebelum dan seudah mereka dalam bidang
kefashihan bahasa (balaghah). Mereka juga telah meramba jalan yang belum pernah
diinjak orang lain dalam kesempurnaan menyampaikan penjelasan (al-bayan),
keserasian dalam menyusun kata-kata, serta kelancaran logika.
Oleh karena bangsa Arab telah mencapai taraf yang begitu
jauh dalam bahasa dan seni sastra, karena sebab itulah al-Quran menantang
mereka. Padahal mereka memiliki kemampuan bahasa yang tidak bias dicapai orang
lain seperti kemahiran dalam berpuaisi, syi’ir atau prosa (natsar), memberikan
penjelasan dalam langgam sastra yang tidak sampai oleh selain mereka. Namun
walaupun begitu mereka tetap dalam ketidakberdayaan ketika dihadapkan dengan
al-Quran.
TAFSIR SURAT TENTANG TENTANG PROSES PENCIPTAAN ALAM
sal mula alam semesta dalam pandangan orang yang wahyuistik
telah digambarkan dalam Al Qur’an dalam surat
Al-An’am (6):101, yang berbunyi:
Artinya:”Dia Pencipta langit dan bumi. bagaimana Dia
mempunyai anak Padahal Dia tidak mempunyai isteri. Dia menciptakan segala
sesuatu; dan Dia mengetahui segala sesuatu”. (QS. Al-An’am (6): 101)
Keterangan yang diberikan Al Qur’an ini bersesuaian penuh
dengan penemuan ilmu pengetahuan masa kini. Kesimpulan yang didapat astrofisika
saat ini adalah bahwa keseluruhan alam semesta, beserta dimensi materi dan
waktu, muncul menjadi ada sebagai hasil dari suatu ledakan raksasa yang tejadi
dalam sekejap. Peristiwa ini, yang dikenal dengan “Big Bang”, membentuk
keseluruhan alam semesta sekitar 15 milyar tahun lalu. Jagat raya tercipta dari
suatu ketiadaan sebagai hasil dari ledakan satu titik tunggal. Kalangan ilmuwan
modern menyetujui bahwa Big Bang merupakan satu-satunya penjelasan masuk akal
dan yang dapat dibuktikan mengenai asal mula alam semesta dan bagaimana alam
semesta muncul menjadi ada.
Sebelum kejadian ledakan dasyat tersebut yaitu Big Bang, tak
ada yang disebut sesuatu sebagai materi. Dari kondisi ketiadaan, di mana
materi, energi, bahkan waktu belumlah ada, artinya yang ada adalah ketiadaan.
Dalam kondisi seperti ini yang hanya mampu menjelaskan adalah keimanan manusia,
sebab kondisi ini merupakan pengertian secara metafisik. Dan juga pada masa Big
Bang ini terciptalah materi, energi, dan waktu. Fakta ini, yang baru saja
ditemukan ahli fisika modern, diberitakan kepada kita dalam Al Qur’an 1.400
tahun lalu.
Sensor sangat peka pada satelit ruang angkasa COBE yang
diluncurkan NASA pada tahun 1992 berhasil menangkap sisa-sisa radiasi ledakan
Big Bang.Berdasarkan pada fakta penemuan ini yang merupakan bukti terjadinya
peristiwa Big Bang, dan juga merupakan penjelasan ilmiah bagi fakta bahwa alam
semesta diciptakan dari ketiadaan. Fakta ini sekaligus penyanggah klaim ateis
bahwa alam semesta merupakan alam materi yang ada secara kebetulan dan bukan
merupakan sesuatu yang diciptakan.
Deskripsi fakta penciptaan alam semesta di atas, merupakan
suatu fakta ilmiah yang bisa kita lihat dalam perspektif al-Qur’an. Artinya
bagian teori perjalanan kejadian alam semesta bias kita runtut masa kejadiannya
melalui wahyu verbalistik yaitu al-Qur’an. Allah menyatakan dalam kitab suci
Al-Qur’an bahwa alam semesta diciptakan-Nya dalam enam periode (سِتَّةُ
أَيَّامٍ). Informasi ini tercantum dalam Al-A`raf (7): 54; Yunus (10):
3; Hud (11): 7; Al-Furqan (25): 59; As-Sajdah (32): 4; Qaf (50): 38; dan
Al-Hadid (57): 4.
Perlu diketahui bahwa kata يَوْمٌ
(pluralnya أَيَّام)dalam Al-Qur’an menyatakan waktu yang
beraneka ragam: masa yang abadi dan tidak terhingga panjangnya (Al-Fatihah (1):
3) atau 50.000 tahun (Al-Ma`arij (70): 4), atau 1000 tahun (As-Sajdah (32): 5),
atau satu zaman (Ali Imran (3): 140), atau satu hari (Al-Baqarah (2): 184),
atau sekejap mata (Al-Qamar (54): 50), atau masa yang lebih singkat dari
sekejap mata (An-Nahl (16): 77), atau masa yang tidak terhingga singkatnya
(Ar-Rahman (55): 29).
Kata ayyâm (أَيَّام) adalah
bentuk jamak (plural) dari kata yaum (يَوْمٌ). Kata
ini di dalam Alquran disebut sebanyak 23 kali dan tidak pernah berdiri sendiri.
Kata tersebut selalu berada di dalam rangkaian kata-kata lainnya yang mengacu
pada pengertian yang bermacam-macam. Empat kali di antaranya dihubungkan dengan
kata tsalâtsun (ثَلاَثٌ) sehingga membentuk kalimat tsalâtsatu
ayyâm (ثَلاَثَةُ أَيَّامٍ) yang berarti ‘tiga hari’.
Rangkaian kata ini selanjutnya digunakan untuk menyebutkan bilangan hari
berpuasa sebagai kafarat bagi orang yang melakukan pelanggaran (Al-Baqarah (2):
196).
Ada pula kata ayyâm (أَيَّام) yang didahului
oleh kata sittatun (ستَّةٌ) sehingga membentuk frasa sittatu
ayyâm (سِتَّةُ أَيَّامٍ). Kata ini di dalam Alquran
diulang sebanyak 7 kali dan selalu digunakan untuk menerangkan bilangan masa
atau periode penciptaan langit dan bumi beserta isinya. (Al-A‘raf (7): 54,
Al-Furqan (25): 59, Hud (11): 7, As-Sajadah (32): 4, dan Al-Hadid (57): 4).
Kata ayyâm (أَيَّام) yang didahului oleh kata sittatun
(سِتَّةٌ) itu tidak diartikan ‘beberapa hari’, tetapi
diartikan ‘periode’ atau ‘masa’, yaitu masa atau periode penciptaan langit dan
bumi beserta isinya.
Selain itu, ada pula kata ayyâm (أَيَّام)
yang didahului oleh kata arba‘ah (أَرْبَعَةٌ)
sehingga susunan frasanya menjadi arba‘atu ayyâm (أَرْبَعَةُ
أَيَّامٍ) yang artinya ‘empat hari’. Di dalam Alquran kata tersebut
hanya disebut sekali dan digunakan untuk menyebutkan bilangan hari di dalam
menentukan kadar makanan. (Fushshilat (41): 10).
Pada bagian lain, terdapat pula kata ayyâm (أَيَّام)
yang didahului oleh kata tsamâniyah (ثَمَانِيَةٌ),
sehingga susunan frasanya menjadi tsamâniyatu ayyâm (ثمَانِيَةُ
أَيَّامٍ) yang berarti ‘delapan hari’. Kata ini hanya disebut sekali
di dalam Alquran dan digunakan untuk menerangkan bilangan hari (lamanya angin
topan yang menimpa kaum ‘Ad) (Al-Haqqah (69): 7).
Selanjutnya, terdapat pula kata ayyâm (أَيَّام)
yang dihubungkan dengan kata Allah (الله) sehingga
menjadi ayyâmullâh (أَيَّامُ اللهِ). Kata yang
artinya ‘hari-hari Allah’ ini hanya disebut sekali dan digunakan untuk
menerangkan hari-hari yang digunakan Allah untuk menjatuhkan siksaan kepada
orang-orang yang ingkar kepada ajaran-Nya (Al-Jatsiyah (45): 14).
Selain itu, masih terdapat kata ayyâm (أَيَّام)
yang diberi sifat bermacam-macam. Misalnya ayyâm ma‘lûmah (أَيَّامٌ
مَعْلُوْمَةٌ) yang berarti ‘beberapa hari yang ditentukan’. Kata ini
disebut sekali dan digunakan untuk menerangkan bilangan hari untuk berzikir
kepada Allah Swt. Selanjutnya ada pula kata ayyâm (أَيَّام)
yang diikuti oleh kata ukhar (أُخَرُ) yang artinya
‘beberapa hari dari hari lainnya’. Kata ini di dalam Alquran hanya disebut
sekali dan digunakan untuk meng-qadha’ (membayar utang) puasa yang
ditinggalkan oleh orang-orang yang mendapat uzur syar‘i saat bulan
Ramadan (QS. Al-Baqarah (2): 183-185).
Selanjutnya, ada pula kata ayyâm (أَيَّام)
yang dihubungkan dengan kata al-ladzîna khalau min qablihim (الَّذِيْنَ
خَلَوْا مِنْ قَبْلِهِمْ) artinya (yang sama) dengan kejadian-kejadian
yang menimpa orang sebelum mereka. Kata ini digunakan untuk menerangkan sifat
bencana yang menimpa orang-orang yang durhaka. (Yûnus (10): 102).
Selain itu, ada pula yang dihubungkan dengan kata al-khâliyah
(الْخَالِيَةُ) sehingga susunannya menjadi ayyâm
al-khâliyah (أَيَّامُ الْخَالِيَةِ) yang berarti
“hari-hari yang telah berlalu”. Kata ini di dalam Alquran digunakan untuk
menerangkan hari yang dilalui oleh para penghuni surga sewaktu berada atau
hidup di dalamnya (Al-Hâqqah (69): 24).
Bentuk tunggal dari kata ayyâm (أَيَّام)
adalah yaum (يَوْمٌ) yang berarti “hari”. Kata yaum
(يَوْمٌ) di dalam Alquran disebut sebanyak 373 kali. Kata ini
kadang-kadang digunakan untuk menerangkan perjalanan waktu mulai dari terbit
matahari sampai terbenamnya dan kadang-kadang digunakan untuk menunjukkan
zaman, masa, atau periode.
Sama halnya dengan kata ayyâm (أَيَّام),
kata yaum (يَوْمٌ) pun penggunaannya selalu
dirangkaikan dengan kata lain di dalam Alquran. Misalnya, dirangkaikan dengan
kata al-âkhir (اَلْآخِرُ) sehingga susunannya menjadi
al-yaum ul-âkhir (اَلْيَوْمُ اْلآخِرُ), yang
digunakan untuk menerangkan saat mana tidak ada hari lain setelah hari akhir
tersebut. Ada
pula kata yaum (يَوْمٌ) yang dirangkaikan dengan kata
ad-dîn (الدِّيْنُ) sehingga menjadi yaum ad-dîn
(يَوْمُ الدِّيْنِ), yang digunakan untuk menerangkan hari
ketika segala amal perbuatan manusia sewaktu hidup di dunia diperhitungkan.
Selain itu, kata tersebut ada yang dihubungkan dengan kata al-hisâb
(اَلْحِسَابُ) sehingga menjadi yaum al-hisâb (يَوْمُ
الْحِسَابِ). Kata ini digunakan untuk menerangkan hari ketika manusia
diperhitungkan segala amal perbuatannya yang dilakukan sewaktu hidup di dunia.
Di samping itu, kata yaum (يَوْمٌ)
ada yang dihubungkan dengan kata ath-thalâq (الطَّلاَقُ),
sehingga menjadi yaum ath-thalâq (يَوْمُ الطَّلاَقِ).
Kata ini digunakan untuk menerangkan keadaan manusia yang dipertemukan di
antara satu dan lainnya oleh Tuhan. Selanjutnya, ada pula kata yaum (يَوْمٌ)
yang dihubungkan dengan kata al-khulûd (اَلْخُلُوْدُ)
sehingga menjadi yaum al-khulûd (يَوْمُ الْخُلُوْدِ)
yang berarti “hari yang kekal”. Kata ini digunakan untuk menerangkan sifat hari
akhirat sebagai hari yang kekal.
Selanjutnya, kata yaum (يَوْمٌ)
ada yang dihubungkan dengan kata al-khurûj (اَلْخُرُوْجُ
= keluar), al-ba‘ts (اَلْبَعْثُ = bangkit), al-mahsyar
(اَلْمَحْشَرُ = tempat berkumpul), al-âzifah (اَْلآزِفَةُ
= mendekat), dan at-taghâbun (اَلتَّغَابُنُ =
terbuka). Semua kata yang berada di belakang kata yaum (يَوْمٌ)
tersebut menunjukkan sifat atau keadaan yang terjadi pada hari kiamat. Pada
hari itu manusia dikeluarkan dari kubur, kemudian dibangkitkan, dikumpulkan,
mendekat pada Tuhan, dan dibuka atau diperiksa segala amal ibadahnya.
Yang terakhir, kata yaum (يَوْمٌ)
dihubungkan dengan kata kâna miqdâruhu khamsîna alfa sanah (كَانَ
مِقْدَارُهُ خَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَة = ukurannya lima puluh ribu tahun). Kata ini digunakan
untuk menerangkan ukuran hari yang digunakan oleh Tuhan di dalam menciptakan
langit dan bumi.
Oleh karena itu sungguh tepat jika ungkapan dalam enam
periode (سِتَّةُ أَيَّامٍ) pada penciptaan alam semesta itu
kita terjemahkan “dalam enam periode”. Sudah tentu Allah tidak memerinci
periode demi periode secara mendetail, sebab Al-Qur’an bukanlah kitab fisika
atau astronomi. Sebagai petunjuk bagi umat manusia di segenap bidang kehidupan,
Al-Qur’an hanya memuat garis besarnya saja. Jangankan perincian tentang
terciptanya alam semesta, perincian tentang tatacara shalat pun tidak kita
temui dalam Al-Qur’an.
Justru Allah memerintahkan kita untuk menalari alam semesta
ini, termasuk proses penciptaannya dan hukum-hukum Ilahi (sunnatullah) yang
berlaku padanya. Perintah Allah itu banyak kita temui dalam Al-Qur’an, misalnya
Ali Imran (3):190-191, Yunus (10):101, Fusshilat (41):53, dan sebagainya. Dalam
hal ini patut kita simak keterangan Hamka, bahwa:
“Bagian yang terbanyak daripada ayat-ayat Al-Qur’an ialah
menyuruh manusia memperhatikan alam sekelilingnya, merenung dan memikirkannya.
Ditekankan seruan agar kita mempergunakan akal. Dan setelah maju ilmu
pengetahuan modern, bertambah jelas pula arti yang dikandung dalam ayat-ayat
itu. Semuanya ini menjadi bukti bahwa Al-Qur’an bukanlah karangan Nabi Muhammad
SAW, melainkan langsung turun dari Allah SWT.
Kalau ada beberapa penafsir dari ayat-ayat Al-Qur’an
memberikan tafsir yang tidak tepat berkenaan dengan alam tadi, bukanlah berarti
bahwa ayat itu tidak sesuai dengan ilmu pengetahuan, melainkan penafsir itulah
yang tidak ada ilmu pengetahuan. Maka di dalam menafsirkan ayat-ayat keadaan
alam ini, adalah dua hal yang perlu. Pertama, pengetahuan tentang makna tiap
lafazh yang tertulis dalam ayat itu. Kedua, pengetahuan tentang ilmu alam yang
berkenaan dengan ayat itu”.
Pendapat yang seirama telah dikemukakan pula oleh Prof. Dr.
Maurice Bucaille, seorang dokter ahli bedah kebangsaan Perancis, bahwa:
“Memang Qur-an bukannya suatu buku yang menerangkan
hukum-hukum alam. Qur-an mengandung tujuan keagamaan yang pokok. Ajakan untuk
memikirkan tentang penciptaan alam dialamatkan kepada manusia dalam rangka
penerangan tentang kekuasaan Tuhan. Ajakan tersebut disertai dengan menunjukkan
fakta-fakta yang dapat dilihat oleh manusia dan aturan-aturan yang ditetapkan
oleh Tuhan untuk mengatur alam, baik dalam bidang Sains maupun dalam bidang
masyarakatkemanusiaan. Sebagian daripada fakta-fakta tersebut ada yang mudah
difahami, tetapi sebagian lainnya tidak dapat difahami tanpa pengetahuan
ilmiah. Ini berarti bahwa manusia-manusia pada abad-abad dahulu hanya dapat
mengetahui arti-arti yang nampak dan hal itu dapat membawa mereka kepada konklusi
yang kurang benar karena kekurangan pengetahuan pada waktu itu”.
Dengan mengutip keterangan Prof. Dr. Hamka dan Prof. Dr.
Maurice Bucaille di atas, saya ingin mengemukakan dua hal. Pertama, banyak ayat
Al-Qur’an tentang fenomena alam yang harus digali dan dikembangkan oleh para
sarjana dan intelektual Muslim. Kedua, banyak ayat Al-Qur’an mengenai fenomena
alam yang selama ini diterjemahkan dan ditafsirkan secara kurang tepat.
TAFSIR AYAT QURAN TENTANG :
·
Gender
Metodologi Tafsîr Syahrur
terhadap Ayat-ayat Gender
Selayaknya penulis membahas terlebih dahulu metodologi
kontroversial Syahrur dalam menafsirkan ayat-ayat al Qur’an, secara lengkap dan
mendetail. Tetapi hal itu bukanlah obyek utama dari kajian kita pada kesempatan
yang terbatas ini. Apalagi pada beberapa edisi sebelumnya, Nuansa telah
mempublikasikannya. Sehingga, cukuplah kiranya, kalau penulis hanya membahas
ide-ide Syahrur yang berkaitan dengan ayat-ayat gender. Dalam konteks ini,
Syahrur menulis:
Bahwasanya
kajian tentang kedudukan perempuan dalam Islam termasuk dalam bidang yang
sangat sensitiv. Dan sudah banyak yang mencoba mengkajinya, baik dari kalangan
“pendukung“ Islam maupun kelompok yang “memusuhi“ Islam. Meskipun demikian,
saya tidak yakin bahwa sudah ada yang melakukan kajian orisinil terhadap obyek
ini, dengan bertolak dari perspektiv pertentangan (yang terus menerus, pen)
antara kelompok substansialis yang formatnya bisa berubah (Dalam bahasa Syahrur
disebut sebagai al Hanîfîyah) dan kelompok formalis yang statis (Baca: al
Shirâth al Mustaqîm atau al Istiqâmah) —dalam ajaran Islam— di satu sisi, dan
pertentangan keduanya dengan fitrah kemanusiaan di sisi lain, seraya menjadikan
konsep al-hudûd sebagai pilar utama (Syahrur, 1992: hal. 592 )
Kemudian ia memaparkan pandangannya tentang penafsiran
ayat-ayat gender sebelumnya, dengan menyebut kesalahan-kesalahan para penafsir
terdahulu sebagai berikut:
- Dalam klaim Syahrur, kesalahan utama Fiqh Islam dan Tafsîr al-Qur’an konvensional yang ada sekarang bersumber dari kesalahan metodologi yang tidak memperhatikan karakteristik dan fleksibilitas pengertian teks-teks kitab suci. Akibatnya hukum Islam yang ada sekarang membebani punggung ummat dan tidak sesuai lagi dengan kemajuan ilmu pengetahuan serta situasi-kondisi abad ke-20. (Al-‘Ourî: hal. 127)
- Bahwa hukum-hukum Islam tentang kaum perempuan mempunyai sifat yang sama dengan hukum-hukum Islam tentang perbudakan, yang tidak menggunakan cara revolusi dalam menuntut perubahan. Keduanya dilakukan secara berangsur-angsur. Karena itu, harus dikatakan bahwa emansipasi kaum perempuan dalam Islam telah dimulai dari zaman Nabi saw dan belum berakhir, sebagaimana halnya dengan pembebasan budak. Karena itu, dengan bersandarkan kepada ayat-ayat hudûd, “program” perbaikan kondisi sosial kaum perempuan harus tetap berlanjut.
- Kesalahkaprahan para ulama dalam menafsirkan QS. Ali ‘Imrân: 14 serta QS. Al-Baqarah: 223, sudah menjebak mereka dalam kesalahan fatal: Memposisikan perempuan sebagai harta-benda milik laki-laki. Kesalahan ini dilatari oleh ketidaktahuan mereka terhadap konsep hudûd dalam penafsiran al-Qur’an kontemporer.
- Bahwa Islam, pada hakikatnya, meletakkan perempuan dalam posisi yang seimbang. Perhatikan, misalnya, QS. Al-Baqarah: 182 (Hunna libâs lakum wa antum libâs lahunna). Islam juga menyamakan lelaki dan perempuan dalam sistem hukum, tanpa memandang perbedaan yang ada, baik perbedaan fisik (seperti QS. Al-Najm: 45 dan QS. Al-Dzâriyât: 49), maupun perbedaan kemampuan akal (seperti QS. Al-Hujurât: 13 dan QS. Al-Isrâ’: 70).
- Syahrur menamakan bukunya “Al Kitâb wa al Qur’ân: Qirâ’ah Mu‘âshirah”. Sub judul “Bacaan Kontemporer” (Qirâ’ah Mu‘âshirah) menyiratkan adanya unsur perkembangan arti sesuai dengan bertambahnya masa. Dalam konteks ayat-ayat gender ini, adalah logis —menurut Syahrur— kalau para ulama terdahulu belum mengetahui adanya teori perbatasan (al-hudûd) ini, karena teori ini baru ditemukan oleh Newton pada awal abad modern. Dan masalah perbatasan (al-hudûd) termasuk masalah pelik yang hanya mampu dipahami oleh manusia terdidik (baca: educated, mutahadldlir). Lawannya adalah orang “kampungan”, tidak berpendidikan dan tidak berperadaban. Untuk konteks kearaban, mereka disebut sebagai orang bedouin (badui) atau al-A‘rab.Karena itu, Allah berfirman: Al-A‘râb asyadd kufran wa nifâqan wa ajdar an lâ ya‘lamû hudûd Allah (QS. Al- Tawbah: 97).
- Dalam interpretasi ayat-ayat gender, Syahrur banyak berpegang kepada konsep al-hudûd yang yang dirumuskannya (al-had al adnâ —perbatasan maksimal, al had al a‘lâ —perbatasan minimal— dan mâ baynahumâ —yang di antara keduanya). Ia menuduh bahwa kesalahan para fuqahâ’ disebabkan karena mereka mencampur-adukkan ayat-ayat gender yang terdapat dalam Umm al- Kitâb, antara yang bersifat hudûd dengan yang bersifat ta‘limât. Ayat-ayat yang bersifat ta‘limât bisa dilanggar atau tidak dikerjakan, atau malah mengerjakan yang sebaliknya, karena ia hanya sekedar petunjuk etis. Sedangkan ayat-ayat hudûd harus bisa mentolerir perilaku-perilaku anak manusia, selama perilaku tersebut masih dalam batasan mâ baynahumâ dan belum melewati perbatasan al-adnâ (minimum) ataupun yang al-a‘lâ (maksimum). (Al- Syawwâf, 1993: hal. 24)
Bertolak dari pandangan di atas,
perlu ditekankan bahwa QS. Al-Nûr: 31 termasuk ayat-ayat yang menjelaskan
batasan-batasan dalam adab berpakaian. Begitu juga QS. Al-Nisâ’: 3 termasuk
ayat-ayat yang menjelaskan batasan-batasan dalam berpoligami. Di lain pihak,
QS. Al-Ahzâb: 59 termasuk ayat-ayat ta‘limât.
- Di dalam menafsirkan kitab suci al-Qur’an, Syahrur bersandar kepada metode semantik Abû ‘Alî al Fârisî yang bisa didapatkan dalam khazanah pemikiran Ibn Jinnî dan ‘Abdu-l-Qâdir al- Jurjânî. Di samping itu, ia juga menggunakan ilmu linguistik modern dengan premisnya bahwa semua lisan kemanusiaan —termasuk lisan kearaban— tidak mempunyai satu katapun yang sinonim. Sehingga, sebuah makna kata bisa tereduksi oleh proses evolusi sejarah atau —lebih dari itu— bisa juga membawa tambahan arti lebih dari kata lain yang serupa, tapi tak sama. Dalam hal ini, Tsa‘lab mempunyai postulat terkenal: “Ma yudhann fi al-dirâsah al-lughawiyah min al-mutarâdifât huwa min al-mutabâyinât.” (Apa yang sebelumnya diduga dalam kajian bahasa sebagai kata-kata yang sinonim —sebenarnya— termasuk di antara kata-kata yang mempunyai arti berbeda). Karena itu, Syahrur memilih Kamus Maqâyîs al-Lughah karya Ibn Fâris sebagai referensi utama dalam mencari perbedaan makna kata-kata yang dikajinya.(Al-Banna, 1996: hal. 126)
·
Risilah
QUR’AN
SURAT AL-MAIDAH
(5) AYAT 48
a. Teks Ayat Surat
Al-Maidah : 48
وَأَنزَلْنَآ إِلَيْكَ
الْكِتَـبَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقاً لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَـبِ
وَمُهَيْمِناً عَلَيْهِ فَاحْكُم بَيْنَهُم بِمَآ أَنزَلَ اللَّهُ وَلاَ تَتَّبِعْ
أَهْوَآءَهُمْ عَمَّا جَآءَكَ مِنَ الْحَقِّ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنكُمْ شِرْعَةً
وَمِنْهَـجاً وَلَوْ شَآءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَحِدَةً وَلَـكِن
لِّيَبْلُوَكُمْ فِى مَآ ءَاتَـكُم فَاسْتَبِقُوا الخَيْرَاتِ إِلَى الله
مَرْجِعُكُمْ جَمِيعاً فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ
“Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran
dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab
(yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian[421] terhadap
kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang
Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan
meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat
diantara kamu[422], Kami berikan aturan dan jalan yang
terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat
(saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka
berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu
semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan
itu,”
·
Ibadah
Tafsir :
(Tafsir Jalalain)
ولا ينافي ذلك عدم عبادة الكافرين لأن الغاية لا يلزم
وجودها كما في قولك : بريت هذا القلم لأكتب به
فإنك قد لا تكتب به
Pengertian dalam ayat ini sama sekali
tidak bertentangan dengan kenyataan, bahwa orang-orang kafir tidak
menyembah-Nya. Karena sesungguhnya tujuan dari ayat ini tidaklah memastikan
keberadaannya. Perihalnya sama saja dengan pengertian yang terdapat di
dalam perkataanmu, "Aku runcingkan pena ini supaya aku dapat menulis
dengannya." Dan kenyataannya terkadang anda tidak menggunakannya.
Tafsir Departemen Agama RI:
Ayat ini menegaskan bahwa Allah
swt tidaklah menjadikan jin dan manusia melainkan untuk mengenal Nya dan
supaya menyembah Nya. Hal ini diterangkan juga dalam hadis Qudsi yang
diriwayatkan oleh Mujahid, yang berbunyi sebagai berikut:
كنت كنزا مخفيا فأردت أن أُعْرَفَ فخلقت الخلق فبي عرفوني
Aku laksana perbendaharaan yang
tersembunyi, lalu Aku ingin supaya diketahui, maka kujadikanlah makhluk, maka
dengan adanya (ciptaan-Ku) itulah mereka mengetahui-Ku. (lihat Tafsir AI
Maragi hal. 13, juz 27, jilid IX).
Firman Allah swt:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا لَا
إِلَهَ إِلَّا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
Tidaklah mereka itu diperintahkan untuk
menyembah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain
Dia, Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. (Q.S. At Taubah: 31)
Pendapat tersebut sama dengan pendapat Az
Zajjaj, tetapi ahli tafsir yang lain berpendapat bahwa maksud ayat tersebut
ialah bahwa Allah swt tidak menjadikan jin dan manusia kecuali untuk
tunduk kepada-Nya dan untuk merendahkan diri. Maka setiap makhluk, baik jin
atau manusia wajib tunduk kepada peraturan Tuhan, merendahkan diri terhadap
kehendak-Nya. Menerima apa yang Ia takdirkan, mereka dijadikan atas
kehendak-Nya dan diberi rezeki sesuai dengan apa yang telah Ia tentukan. Tak
seorang pun yang dapat memberikan manfaat atau mendatangkan mudarat karena
kesemuanya adalah dengan kehendak Allah swt.
Ayat tersebut menguatkan perintah
mengingat Allah swt dan menghimbau manusia supaya melakukan ibadah kepada
Allah semata.
Tafsir Ibn Katsir :
أي إنما خلقتهم لآمرهم بعبادتي لا لاحتياجي إليهم وقال علي
بن أبي طلحة عن ابن عباس " إلا ليعبدون" أي إلا ليقروا بعبادتي طوعا أو
كرها وهذا اختيار ابن جرير . وقال ابن جريج إلا ليعرفون وقال الربيع بن أنس "
إلا ليعبدون " أي إلا للعبادة وقال السدي من العبادة ما ينفع ومنها ما لا
ينفع " ولئن سألتهم من خلق السموات والأرض ليقولن الله " هذا منهم عبادة
وليس ينفعهم مع الشرك . وقال الضحاك : المراد بذلك المؤمنون.
Maksudnya Aku ciptakan dengan tujuan untuk
menyuruh mereka beribadah kepada-Ku, bukan karena Aku membutuhkan mereka.
Mengenai firman Allah swt, إِلَّا
لِيَعْبُدُونِ - 'Melainkan supaya mereka
bertbadah kepadu-Ku. "
'Ali bin Abi Talhah meriwayatkan dari
Ibnu'Abbas: "Artinya, melainkan supaya mereka mau tunduk beribadah kepada-
Ku, baik secara sukarela maupun terpaksa. Dan itu pula yang menjadi pilihan
Ibnu Jarir.
·
Hubungan antara umat beragama
Ayat-Ayat Tentang Toleransi
QS. Al-Kafirun : 1-6
1. Katakanlah: “Hai
orang-orang kafir, 2. Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. 3. Dan
kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. 4. Dan aku tidak pernah menjadi
penyembah apa yang kamu sembah, 5. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi
penyembah Tuhan yang aku sembah. 6. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.”
QS. Al-An’am : 108
“Dan janganlah kamu memaki
sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan
memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan
Setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. kemudian kepada Tuhan merekalah
kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka
kerjakan.”
·
Akhirat
TAFSIR AL QURAN
:
18- يا
أَيُّهَا الَّذينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَ لْتَنْظُرْ نَفْسٌ ما قَدَّمَتْ
لِغَدٍ وَ اتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبيرٌ بِما تَعْمَلُونَ
Wahai orang-orang yang beriman! Takwalah kepada Allah dan hendaklah merenungkan setiap diri, apalah yang telah diperbuatnya untuk hari esok. Dan takwalah kepada Allah! Sesungguhnya Allah itu Maha Mengetahui apa jua pun yang kamu kerjakan.
Wahai orang-orang yang beriman! Takwalah kepada Allah dan hendaklah merenungkan setiap diri, apalah yang telah diperbuatnya untuk hari esok. Dan takwalah kepada Allah! Sesungguhnya Allah itu Maha Mengetahui apa jua pun yang kamu kerjakan.
19- وَ لا
تَكُونُوا كَالَّذينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْساهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُولئِكَ هُمُ
الْفاسِقُونَ
Dan janganlah keadaan kamu seperti orang-orang yang melupakan Allah, lalu Allah pun membuatnya lupa kepada dirinya sendiri; itulah orang-orang yang fasik.
Dan janganlah keadaan kamu seperti orang-orang yang melupakan Allah, lalu Allah pun membuatnya lupa kepada dirinya sendiri; itulah orang-orang yang fasik.
20- لا
يَسْتَوي أَصْحابُ النَّارِ وَ أَصْحابُ الْجَنَّةِ أَصْحابُ الْجَنَّةِ هُمُ الْفائِزُونَ
Tidaklah sama penghuni-penghuni neraka dengan penghuni-penghuni syurga, penghuni-penghuni syurga, itulah orangorang yang beruntung.
Tidaklah sama penghuni-penghuni neraka dengan penghuni-penghuni syurga, penghuni-penghuni syurga, itulah orangorang yang beruntung.
21- لَوْ أَنْزَلْنا هذَا الْقُرْآنَ عَلى جَبَلٍ لَرَأَيْتَهُ خاشِعاً مُتَصَدِّعاً مِنْ خَشْيَةِ اللَّهِ وَ تِلْكَ الْأَمْثالُ نَضْرِبُها لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
Kalau sekiranya Kami turunkan al-Quran ini ke atas sebuah gunung, niscaya akan engkau lihatlah gunung itu tunduk terpecah-belah disebabkan takut kepada Allah; dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami perbuat untuk manusia supaya mereka berfikir.
No comments:
Post a Comment